Kebesaran seorang tokoh biasanya kerap ditandai kontroversi yang mengitari dirinya. Apalagi jika keberadaan tokoh dimaksud menjadi bagian dari keimanan agama tertentu. Dalam sejarah umat manusia banyak sekali tokoh semacam ini, tetapi sedikit sekali yang pengaruhnya masih dirasakan hingga kini, apalagi jika tokoh tersebut hidup pada masa yang berjarak ribuan tahun dari masa sekarang. Di antara yang sedikit itu—dalam tradisi agama samawi/semit—tersebutlah nama-nama seperti Ibrahim, Musa, Yohanes sang Pembaptis/Yahya, dan Muhammad. Mereka adalah para Nabi yang diutus Tuhan untuk menyampaikan ajaran yang satu. Sayangnya data-data historis berkenaan kehidupan para nabi itu sangat terbatas, yang sebagiannya malah telah tercampur aduk dengan “tuturan lisan” (kisah Israiliyat, dongeng, mitos, legenda, dsb) yang diragukan kebenarannya.
Dalam kesimpangsiuran inilah para pemeluk agama yang mengimani kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad harus merujuk pada Kitab Suci yang diturunkan kepada mereka. Sebagai utusan Tuhan, tentu saja keberadaan para nabi itu mendapat “pembenaran” dari “berita langit” yang biasanya tertuang dan terhimpun dalam Kitab Suci yang mereka bawa. Musa dengan Taurat, Isa dengan Injil, dan Muhammad dengan al-Qur’an, sedang Mushaf yang dibawa Ibrahim, jejak-jejak ajarannya bisa dilacak pada ketiga Kitab Suci tersebut.
Buku Isa Putra Maria adalah rekonstruksi sejarah Isa Almasih yang disusun berdasarkan keterangan yang terdapat dalam Injil dan al-Qur’an. Di dalamnya dituturkan fase-fase kehidupan Isa Almasih dari mulai kelahiran sampai masa-masa akhir kehidupannya. Kitab Injil yang dirujuk dalam buku ini adalah Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Perbedaan keterangan yang terdapat dalam Injil, juga yang terdapat dalam al-Qur’an, mengenai fase tertentu dalam kehidupan Isa Almasih, jika disikapi secara terbuka, akan sangat bermanfaat dalam memperkaya pemahaman kita terhadap sosok Isa Almasih. Misalnya menyangkut kehamilan Maria Injil menuturkan:
Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang yang bernama Yusuf dari keluarga Daud, nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai dia Isa. Ia akan menjadi besar dan Tuhan akan mengaruniakan kepadanya takhta Daud, bapa leluhurnya, dan ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan kerajaannya tidak akan berkesudahan.” Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi karena aku belum bersuami?” Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; dan sesungguhnya Elisabet, sanakmu itu, ia pun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya, dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia (Lukas 1: 26-38).[1]
Sedang untuk berita yang sama al-Qur’an mengabarkan:[2]
“Dan ingatkanlah (wahai Nabi Muhammad saw., kisah yang terdapat) di dalam al-Kitab (tentang) Maryam, ketika dia menjauhkan diri dari keluarganya ke (suatu) tempat di sebelah timur (arah Bait al-Maqdis). Maka ia mengadakan tabir (untuk melindungi dirinya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami (yakni Malaikat Jibril as.) kepadanya, maka malaikat itu menjelma di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. Maryam berkata: ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dari dirimu, jika engkau seorang yang bertakwa’” (QS. Maryam [19]: 16-18).
Malaikat Jibril berkata:
“Sesungguhnya aku hanyalah seorang utusan Tuhan Pemelihara kamu, untuk menganugerahkan bagimu (atas izin dan kuasa Allah), seorang anak laki-laki yang suci” (QS. Maryam [19]: 19).
Maryam berkata:
“Bagaimana (mungkin) akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan bukan (pula) aku seorang pezina!” (QS. Maryam [19]: 19).
“Malaikat Jibril berkata: ‘Demikianlah, (benar apa yang engkau katakan).’ Tuhan Pemelihara kamu berfirman: ‘Hal itu (yakni kelahiran anak tanpa ayah), bagi-Ku adalah mudah; dan supaya Kami menjadikannya tanda (yang sangat nyata tentang kesempurnaan kekuasaan-Ku) bagi manusia dan (supaya menjadi) rahmat dari Kami; dan hal (penciptaan anak tanpa ayah) itu (adalah perkara yang sudah ditetapkan)’” (QS. Maryam [19]: 21).
“Dan (ingatlah wahai Nabi Muhammad dan ingatkan pula umatmu tentang kisah wanita, yakni Maryam putri ‘Imrân) yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam (rahim)nya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya (yaitu ‘Isa as.) tanda (yang besar dan jelas bagi keagungan dan kekuasaan Allah) bagi semesta alam” (QS. al-Anbiyâ [21]: 91).
Dari kutipan di atas terlihat jelas, bahwa informasi yang diambil dari Injil dan al-Qur’an dan disajikan dalam buku ini dimaksudkan agar pembaca memperoleh gambaran yang utuh tentang sosok Isa, yang harus diakui pada fase-fase tertentu dalam kehidupannya diselimuti informasi yang simpang siur dan cenderung kontroversial. Semangat rekonsiliatif dari buku ini juga bisa dilihat dari penggunaan nama Isa dan Yesus, Maria dan Maryam, Yahya dan Yohanes secara berselang seling sesuai konteks bahasan.
Post a Comment