Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 232
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لا تَعْلَمُونَ (٢٣٢)
232.
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya. Maka
janganlah kamu(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan
lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya(9/258):
“Telah
bercerita kepada kami(Bukhârî) ‘Ubaidullâh bin Sa’id,
katanya(‘Ubaidullâh bin Sa’id): “Abu ‘Amir al-‘Aqadi telah bercerita
kepada kami(‘Ubaidullâh bin Sa’id), katanya(Abu ‘Amir al-‘Aqadi): “telah
bercerita kepada kami(Abu ‘Amir al-‘Aqadi) ‘Abbad bin Rasyid,
katanya(‘Abbad bin Rasyid): “al-Hasan telah bercerita kepada kami(‘Abbad
bin Rasyid), katanya(al-Hasan): “Ma’qil bin Yasar telah bercerita
kepada saya(al-Hasan), katanya(Ma’qil bin Yasar): “saya mempunyai
saudara perempuan, kemudian datanglah anak lelaki paman saya melamarnya,
lalu saya nikahkan ia dengannya. Selang beberapa lama tinggal
dengannya, tiba-tiba ia mentalaknya dan tidak meruju’nya sampai
‘iddahnya habis. Tetapi ia masih mencintainya dan saudara perempuan
saya(Ma’qil bin Yasar) juga mencintainya. Akhirnya ia datang meminangnya
kembali. Segera saya berkata kepadanya: “hai laknat! dahulu saya
hormati kamu dan saya nikahkan kamu dengannya, kemudian kamu menjatuhkan
talak kepadanya dan sekarang kamu datang meminangnya. Demi Allah! Dia
tidak akan saya kembalikan lagi kepada kamu. Anak paman saya orangnya
boleh juga(berkecukupan) dan saudara perempuan saya masih ingin kembali
kepadanya. Akhirnya Allah mengetahui kebutuhan mereka berdua secara
timbal balik, lalu Dia(Allah) turunkan ayat ini”:
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لا تَعْلَمُونَ (٢٣٢)
232.
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya. Maka
janganlah kamu(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan
lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
“Kemudian
Ma’qil bin Yasar melanjutkan riwayatnya: “ayat ini diturunkan berkenaan
dengan peristiwa yang menimpa saya tadi”. “Kemudian saya segera
membayar kifarat sumpah tadi dan menikahkannya dengan anak paman saya”.
“Dalam
riwayat lain dikatakan: “bahwa ketika Ma’qil bin Yasar mendengar ayat
ini, ia(Ma’qil bin Yasar) berkata: “saya paksakan diri saya, dan saya
nikahkan saudara perempuan saya demi ketaatan saya kepada tuhan(Allah)”.
KETERANGAN:
Bukhârî juga meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya(11/91 dan 408). At-Tirmidzî juga meriyatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya(4/76), kata beliau(At-Tirmidzî): “Hadis yang ia riwayatkan berkualitas hasan shahîh”. Abu Dawud juga meriwayatkan dalam Sunan Abî Dâwudnya(2/192). Ath-Thayalishî juga meriwayatkan dalam Musnad Abû Dawûdnya(1/305). Ad-Dâruquthnî juga meriwayatkan dalam Sunan ad-Dâruquthnînya(3/223 dan 3/224). Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahîhainnya(2/174), katanya(Al-Hakim): “shahîh menurut Syaikhain(Bukhârî dan Muslim), akan tetapi Imâm Muslim tidak mengeluarkan Hadis mengenai hal di atas”. Ibnu Jarîr juga meriwayatkan dalam Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âninya(2/448). Ahmad Musthafâ al-Marâghî juga meriwayatkan dalam Tarjamah Tafsir al-Marâghînya(halaman: 313-314).
BIBLIOGRAFI
Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahîhain(al-Hâkim/Muhammad bin ‘Abdullah Abu ‘Abdullah al-Hâkim
an-Naisâbûrî ).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî(Imâm Bukhârî/Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin
al-Mughîrah al-Bukhârî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî(at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfidz Abî ‘Îsâ Muhammad bin ‘Îsâ bin
Saurah at-Tirmidzî).
Musnad Abû Dawûd(ath-Thayâlisî/Sulaimân bin Dâwud ath-Thayâlisî).
Sunan Abî Dâwud(Abû Dâwud/al-Imâm al-Hâfidz al-Mushannif al-Mutqan Abî Dâwud Sulaimân Ibnu
al-‘Asy’ats as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan ad-Dâruquthnî(ad-Dâruquthnî/Alî bin‘Amr Abû al-Hasan ad-Dâruquthnî al-Baghdâdî).
Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âni(Ibnu Jarîr/Abu Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin
Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Tarjamah Tafsîr al-Marâghî(Ahmad Musthafâ al-Marâghî).
Kami sangat menghargai komentar pembaca sekalian, baik saran, kritik, bantahan dan lain sebagainya.
Bagi pembaca yang ingin berkomentar silahkan untuk login dengan mengklik Login di Tombol Login komentar dan pilih akun yang ingin anda gunakan untuk Login, Bisa dengan Facebook, Twitter, Gmail dsb.
peraturan komentar:
1. komentar pendek atau panjang tidak masalah, baik lebih dari satu kolom juga tidak apa-apa.
2. komentar menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar tidak berbelit-belit.
3. tidak menggunakan kata-kata kotor, hujat atau caci maki
4. langsung pada topik permasalahan
Post a Comment