Iman kepada takdir memiliki kedudukan yang sangat penting dalam agama
Islam. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya dalil dalam Al Qur’an maupun
Sunnah yang membahas tentang hal ini. Selain itu, di dalam Al Quran
juga dijelaskan buah yang akan dipetik dari keimanan kepada takdir,
serta kecelakan yang akan dialami oleh orang yang salah dalam memahami
takdir. Sehingga penting bagi setiap muslim untuk memahami masalah ini
dengan benar. Seseorang tidak akan bisa memahami takdir dengan benar
kecuali melalui penjelasan dari Al Qur’an maupun As Sunnah, sebagaimana
para pendahulu kita dari kalangan salaf memahaminya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Iman
adalah engkau beriman kepada Allah, dan malaikat Nya, dan kitab kitab
Nya, dan Rosul rosul Nya, dan hari akhir, dan engkau beriman kepada
takdir yang baik maupun yang buruk”.
Ibnu Ad Dailami berkata, aku mendatangi Ubai bin Ka’ab dan aku
berkata, “dalam jiwaku ada sesuatu tentang takdir (yang membuatku ragu),
maka bicarakanlah sesuatu kepadaku, semoga dengannya Allah
menghilangkan sesuatu itu dari hatiku”, beliau berkata, “jikalau engkau
berinfak dengan emas sebesar gunung uhud, tidaklah akan diterima sampai
engkau beriman kepada takdir, dan engkau meyakini bahwa apa yang
menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu tidak
akan menimpamu, kalau engkau mati tidak dalam keadaan seperti ini,
sungguh engkau termasuk penghuni neraka.” Ibnu Ad Dailami mengatakan,
“akupun mendatangi Ibnu Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, Zaid bin Tsabit,
seluruhnya menyatakan seperti itu dari nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Menghadapi musibah dengan iman kepada takdir
Setiap orang selalu ingin merasakan kebahagiaan di dalam
kehidupannya. Segala cara ditempuh untuk mendapatkannya. Namun
kebanyakan orang salah memaknai kebahagian dengan hanya bersandar kepada
kenikmatan duniawi yang bersifat hissi. Padahal terkadang kenikmatan
itu yang justru menjadi petaka bagi pemiliknya. Belum lagi ketika datang
musibah, banyak orang yang salah menyikapinya, menjadikan musibah yang
kecil menjadi terlihat besar, hingga banyak orang yang stres, depresi,
hingga bunuh diri.
Padahal sudah menjadi sunnatullah kehidupan kenikmatan dan
musibah datang silih berganti. Terkadang seseorang diberi kesehatan,
namun di waktu lain ditimpa dengan penyakit. Adakalanya seseorang diberi
kekayaan, namun di saat lain jatuh dalam kemiskinan. Di satu waktu
seseorang dikaruniai seorang buah hati, namun di waktu lain ditinggal
oleh kematan orang tersayang. Begitulah kehidupan, tinggal bagaimana
seseorang menyikapinya.
Dalam hal ini, iman kepada takdir menjadi obat yang mujarrab sebagai
penghibur ketika datang musibah. Ketika datang kenikmatan, seorang yang
beriman kepada takdir akan bersyukur karena meyakini itu semua karunia
dari Allah ta’ala. Ketika datang musibah pun, seorang yang beriman
kepada takdir akan bersabar atau bahkan bersyukur, karena itu pun
berasal dari Allah sebagai bentuk ujian yang bisa menjadi penghapus dosa
dosanya.
Sepenggal kisah tentang takdir
Dalam sebuah buku berjudul “Tinggalkan Kegelisahan, Mulailah Kehidupan”
yang ditulis oleh penulis terkenal yang bernama R.N.S Budhli, ada
sebuah tulisan menarik yang berjudul (Aku Telah Hidup Di Syurga Allah).
Dalam tulisan itu penulis ingin menunjukan tentang pentingnya iman
kepada takdir dalam menghadapi manis pahitnya kehidupan. Selanjutnya
biar Budhli sendiri yang menceritakan kisahnya.
Budhli berkata: “pada tahun 1918 M saya tinggal di pedalaman Afrika
tengah, hidup bersama suku pedalaman di tengah gurun selama tujuh tahun
lamanya. Saya pun menguasai dengan baik bahasa mereka, menggunakan
pakaian mereka, memakan makanan mereka, tidur di perkemahan dengan
mereka dan hidup seperti kehidupan mereka, sungguh hari-hari ketika saya
bersama mereka merupakan sepenggal hidup saya yang membahagiakan, saya
merasakan kedamaian, keselamatan, dan keridhoan dalam hidup.
Saya sudah belajar dari mereka bagaimana mengalahkan kekhawatiran,
mereka sangat percaya dengan takdir, kepercayaan inilah yang telah
menolong mereka untuk hidup dengan aman, dan menjalani hidup dengan
mudah.
Mereka percaya bahwa apa yang ditakdirkan bagi mereka pasti terjadi,
dan tidaklah seseorang di antara mereka ditimpa sesuatu kecuali sudah
ditetapkan oleh Allah atasnya. Akan tetapi, meskipun begitu, bukan
berarti mereka bertawakal kemudian berpangku tangan, berdiam diri tanpa
berusaha dan bekerja! Sekali kali tidak!”
Kemudian dia melanjutakan kisahnya, “saya berikan contoh yang saya
saksikan sendiri, suatu ketika terjadi badai gurun yang sangat dahsyat,
dengan angin besar yang menerbangkan debu gurun padang pasir. Angin
badai sangat panas, seakan akan rambut saya tercabut dari kulit kepala,
hamper-hampir saya menjadi gila karenanya. Akan tetapi, tidak sedikitpun
saya melihat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka terlihat
tegar, sambil mengatakan kalimat yang sering mereka ucapkan; “takdir
sudah ditulis!”.
Setelah badai berlalu, mereka bergegas bekerja kembali dengan
semangat yang lebih besar, mereka pun menyembelih domba kecil sebelum
mati (karena badai), dan membawa hewan ternak yang lain ke sumber air
untuk diberi minum. Mereka melakukan hal ini dengan tenang, tanpa banyak
bicara, tidak juga mengeluh salah seorang dari mereka.
Ketua suku berkata, “kita tidak kehilangan banyak hal, sungguh kita
diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu, akan tetapi segala puji bagi
Allah, kita masih punya 40% dari hewan ternak kita, dan kita bisa
bekerja kembali dari awal”
Kemudian Budhli berkata: “ada juga kisah yang lainnya, suatu hari
saya bersama sebagian dari mereka melintasi padang pasir dengan mobil,
tiba-tiba salah satu ban mobil meletus, sementara sopir mobil lupa tidak
menyediakan ban pengganti. Hal ini tentu saja membuat saya marah, serta
merasa cemas dan gelisah, saya pun bertanya kepada salah seorang kawan
saya dari suku pedalaman, “sekarang apa yang akan kita lakukan?”, dia
pun mengingatkan saya, bahwa marah tidak akan menyelesaikan urusan, akan
tetapi justru akan menimbulkan stres.
Maka kamipun melanjutkan perjalanan menggunakan mobil dengan tiga
ban. Akan tetapi belum lama mobil kami berjalan, tiba-tiba kami
kehabisan bensin. Hal ini pun tidak membuat salah seorang dari mereka
mengeluh, bahkan mereka tetap tenang, dan kami pun berjalan kaki
menempuh perjalanan panjang di tengah gurun”.
Setelah Budhi menceritakan kisah kehidupannya dengan suku pedalaman
Afrika tengah, dia memberikan catatan: “sungguh tujuh tahun hidup
bersama mereka telah menyadarkan saya, bahwa orang orang yang tertimpa
penyakit penyakit jiwa, stres, depresi, seperti yang dialami orang orang
amerika, eropa, dan negri-negri kafirnya, tidak lain merupakan korban
dari ketiadaan iman kepada ketetapan Allah.
Dan selama tujuh tahun saya hidup di padang pasir, tidak ada
sedikitpun rasa khawatir dalam diri saya, bahkan disanalah saya
mendapatkan ketenangan, keridoan, dan kecukupan”.
Dan terakhir, penulis mengatakan: “setelah 17 tahun saya meninggalkan
kehidupan mereka, saya tetap mengikuti kehidupan suku pedalaman dalam
menghadapi ketetapan Allah ta’ala, sehingga dengannya, saya menghadapi segala kejadian yang menimpa saya dengan tenang dan damai.
Saya telah berhasil mengatasi kegelisahan, dan menenangkan jiwa saya
dengan tabiat suku pedalaman, melebihi ketenangan yang dihasilkan oleh
ratusan bahkan ribuan obat penenang yang dibuat oleh kedokteran”.
Tingkatan iman kepada takdir1
Takdir memiliki empat tingkatan, dan tidak sah keimanan seseorang kecuali dengan mengimani seluruh tingkatan ini, keempat tingkatan ini adalah;
Yang pertama adalah Al Ilmu. Yaitu dengan meyakini bahwa Allah ta’ala
maha mengetahui segala sesuatu, baik yang sudah terjadi, yang sedang
terjadi, ataupun yang akan terjadi. Bahkan Allah mengetahui sesuatu yang
tidak terjadi, dan bagaimana jika itu terjadi. Sebagaimana juga Dia
maha tahu tentang ciptaannya sebelum Dia menciptakan mereka, dan Allah
mengetahui rizki, ajal, serta amalan mereka.
Dalil akan hal ini sangatlah banyak, diantaranya firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak
ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan
yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang
lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh” (Qs. Saba: 3).
Yang kedua adalah Al kitabah (penulisan). Yaitu dengan meyakini bahwa segala sesuatu sudah ditulis oleh Allah ta’ala di Lauhul Mahfudz. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yasin: 12) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah telah menulis semua takdir makhluknya 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”2
Yang ketiga adalah Al Masyi’ah
(kehendak), bahwa semua yang terjadi di dunia ini merupakan kehendak
Allah ta’ala. Apa yang Dia kehendaki pasti akan terjadi, dan sebaliknya,
apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi. Tidak ada
sesuatu yang terjadi, melainkan kehendak Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya urusan Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “jadilah!” maka terjadilah” (Qs. As Shaffat: 82.
Dan yang terakhir atau yang keempat adalah Al Kholqu (penciptaan). Bahwa segala sesatu selain Allah adalah makhluk, ciptaan Allah ta’ala, Allah lah yang menciptakan mereka dari ketiadaan. Termasuk perbuatan manusia, merupakan ciptaan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Allah menciptakan kalian serta apa yang kalian kerjakan” (Qs. As Shaffat: 96).
Sebagai contoh, ketika si fulan setiap harinya rajin sholat di masjid, Allah dengan ilmunya telah mengetahui bahwa si fulan akan melakukan perbuatan tersebut. Kemudian Allah menuliskan perbuatan si fulan tersebut di lauhul mahfudz, dan Allah pun menghendaki perbuatan tersebut, sehingga kemudian menciptakannya, dengan terjadinya perbuatan tersebut. Begitu juga dengan seorang pencuri, Allah telah mengetahui bahwa si fulan akan mencuri, kemudian menuliskannya di lauhul mahfudz, kemudian Allah menghendaki terjadinya pencurian oleh si fulan, maka Allah menciptakan perbuatan si fulan tersebut, dengan terjadinya pencurian.
Penetapan takdir3
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa Allah telah
menuliskan takdir di lauhul mahfudz lima puluh ribu tahun sebelum Allah
menciptakan langit dan bumi. Namun Al Qur’an dan As Sunnah menunjukan
bahwa ada penetapan takdir dalam waktu yang lain. Yaitu ketika seseorang
masih berada di rahim ibunya, yang ini terjadi sekali seumur hidup.
Kemudian takdir tahunan yang ditetapkan setaun sekali pada malam
lailatul Qodar, dan takdir harian yang tetapkan setiap hari.
Mengenai penulisan takdir ketika di rahim ditunjukan oleh hadits ibnu Mas’ud, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya
seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama
40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian
menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi
mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat
diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan
untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya,
dan celaka atau bahagianya.”4
Adapun takdir yang bersifat tahunan, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi5 dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (Qs. Ad Dukhon: 3-4). Ibnu katsir rahimahullah
berkata, “yaitu pada malam lailatul Qodar diputuskan dari lauhul
mahfudz untuk dituliskan peristiwa yang akan terjadi selama satu tahun
berkaitan dengan ajal, rizki dan lainnya dalam tahun itu”6
Mengenai takdir yang bersifat harian, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “setiap waktu Dia berada dalam kesibukan”
(Qs. Ar Rahman: 29). Para ulama menafsirkan ayat ini, “kesibukan Nya
adalah memuliakan dan menghinakan, mengangkat dan merendahkan, memberi
dan menahan, mengayakan dan memisikinkan, menghidupkan dan mematikan dan
sebagainya”7
Kewajiban kita terhadap takdir Allah
Wajib bagi manusia untuk mengimani takdir Allah ta’ala, dan menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan Nya. Maka seorang Muslim, jika dia berbuat baik, dia memuji Allah ta’ala. Jika dia berbuat dosa, dia akan beristighfar, bertaubat kepada Allah ta’ala, tidak kemudian terus menerus berbuat dosa dengan alasan takdir. Karena Nabi Adam Alaihis Salam,
ketika berdosa dia bertaubat, maka Allah mengampuni dosanya dan
memberinya petunjuk. Akan tetapi lihatlah iblis! Dia berdosa, tapi tidak
mau bertaubat, justru berdalil dengan takdir, maka iblis pun dilaknat
oleh Allah ta’ala. Maka barang siapa yang bertaubat, dia mengikuti kakeknya, Adam Alaihis Salam, dan siapa yang terus terusan berdosa dengan alasan takdir, dia mengikuti musuhnya, Iblis La’natullah ‘Alaih.
Kemudian, seorang Muslim juga harus berusaha untuk
kebaikan duniawinya, dengan bekerja, berusaha, mencari nafkah untuk
keluarga dan sebagainya. Tidak berpangku tangan dengan alasan takdir.
Jika ternyata hasil usahanya sukses, maka dia bersyukur kepada Allah ta’ala. Tapi jika ternyata gagal, maka dia meyakini bahwa itu merupakan kehendak Allah ta’ala,
dan apa yang menimpanya sudah ditakdirkan oleh Allah untuknya, tentunya
dengan berbaik sangka kepada Allah, bahwa itu adalah yang terbaik
baginya. Karena Allah lebih mengetahui yang terbaik buat hamba-hambanya.
Tidak ada kehendak Allah kecuali mengandung hikmah yang Allah ketahui
dengan ilmu Nya.
Penyimpangan dalam masalah takdir
Ada dua kelompok yang salah memahami takdir8:
Yang pertama mengatakan bahwa Allah
tidak menakdirkan perbuatan hambanya. Seorang manusia secara mutlak
bebas melakukan perbuatannya tanpa campur tangan Allah, kelompok ini
dinamakan dengan Qodariyah.
Adapun yang kedua, adalah kelompok yang
mengatakan Allah menakdirkan segala sesuatu, akan tetapi manusia tidak
punya pilihan atas perbuatannya, manusia dipaksa untuk melakukan
perbuatkannya, seperti robot yang diatur oleh remot. Kelompok ini
dinamakan dengan Jabariyah.
Adapun keyakinan yang benar adalah, bahwa Allah menghendaki segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia9, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.”
(Qs. Al Qoshos: 68). Akan tetapi meskipun begitu, hal ini tidak
menafikan bahwa manusia juga diberi otak untuk berpikir, diberikan
kebebasan memilih, tidak dipaksa atas perbuatannya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya” (Qs. An Naba: 39), juga firman Allah, “maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan
bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…” (Qs. Al Kahfi: 29).
Bahkan Allah telah menunjukan jalan kepada manusia,
mengutus para Rosul, menurunkan kitab, menyuruh untuk berbuat kebaikan,
dan melarang dari perbuatan dosa dan maksiat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Qs. Al Balad: 10), maksudnya jalan kebenaran dan jalan kesesatan.
Kitapun merasakan dengan yakin, bahwa kita tidak
dipaksa dalam beramal, kita bebas melakukan perbuatan yang kita
inginkan, tidak ada yang memaksa kita, meskipun kehendak kita juga
terjadi atas kehendak Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang menghendaki untuk menempuh jalan yang
lurus, Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” (Qs. At Takwir: 28-29).
Bolehkan membicarakan takdir?10
Sebagian orang melarang membicarakan takdir, dengan
alasan hal itu akan menimbulkan keraguan dan kebingungan, terlebih
adanya nash yang melarang seseorang untuk terlalu dalam membicarakan
masalah takdir. Akan tetapi disisi lain, kita temukan dalil dalil Al
Qur’an maupun As Sunnah yang menjelaskan tentang takdir, serta
percakapan antara Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan
para sahabatnya dalam rincian masalah takdir. Begitu juga kalau kita
membaca perjalanan hidup pendahulu kita dari kalangan salaf, akan kita
dapati banyaknya pembicaraan mereka dalam rincian masalah takdir.
Maka hal yang benar adalah, membicarakan takdir
diperbolehkan, dengan syarat harus dilakukan dengan metode ilmiah yang
benar, yang disandarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Tidak hanya
bersandarkan kepada akal semata, tidak juga hanya untuk sebagai ajang
perdebatan. Apalagi jika pembicaraan masalah ini, menunjukan kita kepada
kebenaran, maka tidaklah dilarang, bahkan bisa jadi diwajibkan.
Apa perbedaan antara qadha dan qadar?11
Dua kata ini banyak kita jumpai dalam Al Qur’an dan
As Sunnah, maupun dalam kitab kitab yang berbicara tentang takdir. Lalu
apa perbedaan antara keduanya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal
ini. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa qadha dan qadar maknanya
sama, tidak ada perbedaan sama sekali.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan qodar adalah penetapan adapun qodho adalah penciptaan apa yang
sudah ditetapkan. Sebagaimana diketahui bahwa takdir ada empat
tingkatan, ketika Allah berkehendak kemudian menuliskannya ini yang
dinamakan qadar. Kemudian ketika terjadi dan diciptakan ini yang
dinamakan qadha. Maka dua hal ini sesuatu yang berkaitan dan tidak bisa
dipisahkan. Ketika Allah menghendaki dan menetapkan sesuatu (qadar)
Allah pasti akan menciptakannya (qadar). Ulama yang lain mengatakan
sebaliknya; qadar adalah penetapan dan qadar adalah penciptaan.
Tapi yang paling benar adalah, bahwa kata qadha dan
qadar ketika dipisah, disebutkan sendiri sendiri, maka masing masing
kata mewakili kata yang lain. Ketika disebut kata qadha maka masuk di
dalamnya qadar. Dan ketika disebut kata qadar masuk di dalamnya makna
qadha. Namun ketika kedua duanya disebutkan secara bersamaan, maka qadha
dan qadar memiliki makna masing masing sebagaimana disebutkan diatas.
Kenapa Allah menciptakan keburukan dan mentakdirkannya?
Sebagian orang sering bertanya tanya akan hal ini.
Jika Allah Maha kuasa, dan Allah memerintahkan kepada kebaikan, kenapa
Allah menghendaki keburukan dan mentakdirkannya? Jawaban hal ini adalah
bahwa Allah tidak menghendaki dan menciptakan sesuatu yang bersifat
buruk secara mutlak. Tapi dalam setiap keburukan yang Allah ciptakan,
pasti terkandung hikmah yang baik. Dalam artian dari satu sudut pandang
memang terlihat sesuatu yang buruk, namun jika dilihat dari sudut
pandang lain akan terlihat bahwa disana ada hikmah yang baik yang Allah
kehendaki.12
Sebagai contoh, kenapa Allah menciptakan iblis?
bukankah iblis dan bala tentaranya menyesatkan manusia dari jalan Allah?
jawabannya karena Allah menghendaki dengan adanya iblis manusia akan
teruji, mana yang benar benar beriman dan mana yang hanya main main.
Allah ingin mengangkat derajat orang beriman dengan ujian berupa iblis.
Contoh yang lain, kenapa Allah menciptakan nyamuk?
Padahal kalau dilihat sekilas mata, nyamuk hanyalah makhluk pengganggu
yang tidak ada manfaatnnya sama sekali. Kalau kita melihat lebih detail,
bukankah dengan nyamuk orang akhirnya berusaha membuat obat nyamuk,
yang dengannya lahir pabrik obat nyamuk, yang disana ribuan orang
bekerja untuk mencari nafkah?! Berapa orang yang akan menganggur jika
tidak ada pabrik obat nyamuk?!
Maka segala sesuatu yang ditakdirkan Allah pasti mengandung hikmah, baik yang diketahui maupun tidak diketahui oleh manusia.
Apakah takdir bisa dirubah?
Ada beberapa nash yang menunjukan bahwa umur, ajal,
dan rizki seseorang bisa dirubah dengan amalan tertentu. Sebagaimana
sabda Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahmi”13 dan sabda beliau, “tidak ada yang merubah takdir kecuali doa dan tidak ada yang menambah umur kecuali kebaikan”14.
Padahal sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa takdir sudah dicatat
jauh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Apakah ini berarti
takdir bisa dirubah?
Jawabannya ada dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Qs. Ar Ra’du : 39)
Secara umum penetapan takdir terbagi menjadi dua15, yang tertulis di lauhul mahfudz
dan yang tertulis di lembarang lembaran yang dibawa oleh para malaikat.
Ayat tadi menjelaskan bahwa Allah menghapus dan menetapkan apa yang dia
kehendaki, itu maksudnya dalam lembaran lembaran yang berada di tangan
malaikat. Dan Allah memiliki Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz) sebagai patokan. Bahwa apa yang berubah dilembaran para malaikat akan sesuai dengan apa yang ditulis di lauhul mahfudz.
Sebagai contoh, seseorang telah ditetapkan bahwa masa hidupnya adalah delapan puluh taun. Kemudian ditulis di lauhul mahfudz.
Namun ketika di alam kandungan, Allah memerintahkan malaikat untuk
menulis bahwa umurnya hanya akan mencapai tujuh puluh tahun. Jika dia
bersilaturahmi (dan Allah maha mengetahui bahwa dia akan
bersilaturahmi), Allah akan memerintahkan malaikat untuk menambah
umurnya menjadi delapan puluh tahun, sebagaimana tertulis di lauhul mahfudz.
Dan malaikat tidaklah mengetahui, apakah umur orang tersebut akan
bertambah atau tidak. Karena tidak ada yang mengetahui apa yang tertulis
di lauhul mahfudz kecuali Allah ta’ala.
Catatan kaki
1 Lihat Dr Ibrohim Al Hamd, Al Iman bil Qodho Wal Qodar, hal. 65-74, Dr Sulaiman Al Asyqor, Al Qodho Wal Qodar hal. 26-33
2 HR. Muslim No. 2653
3 Lihat Dr Sulaiman Al Asyqor, Al Qodho Wal Qodar hal. 40-41, Dr. Muhammad bin Ibrohim Al Hamd, Al Iman bil Qodho Wal Qodar ha. 80-81
4 HR. Bukhori Muslim no. 2643
5 Yang dimaksud malam yang diberkahi adalah malam lailatul Qodar, malam diturunkannya Al Qur’an (lihat tafsir Ibnu Katsir)
6 Lihat tafsir ayat ini dalam tafsir Ibnu Katsir.
7 Lihat tafsir Ibnu Katsir
8 Al Iman bil Qodho Wal Qodar, hal 262 dan 269
9 Al Qodho Wal Qodar, hal. 34
10 Lihat Rosaail fil Akidah, Muhammad bin Ibrohim Al Hamd, hal. 377
11 Lihat Mushtolahat fie kutubul Aqooid, Muhammad Bin Ibrohim Al Hamd, hal. 174-175
12 Al Qadha Wal Qadar, Dr Sulaiman Al Asyqor hal. 70-71
13 HR. Bukhori no. 5640 dan Muslim, no. 2557
14 HR. Ibnu Hibban dan Hakim. Hakim berkata, “isnadnya sohih”
15 Al Qadha Wal Qadar, Dr Sulaiman Al Asyqor hal. 67
Penulis: Abdullah Hazim
Artikel Muslim.Or.Id
Penulis: Abdullah Hazim
Artikel Muslim.Or.Id
Post a Comment