Al-Udzr bi al-jahl (udzur/dispensasi terhadap suatu kekeliruan) merupakan salah satu prinsip ahlus sunnah
Poin pertama
Al-Udzr bi al-jahl (udzur/dispensasi terhadap suatu
kekeliruan) merupakan salah satu prinsip ahlus sunnah. Tidak ada
perselisihan dalam hal ini, bahkan para ulama memberikan udzur berupa
diangkatnya dosa dari seorang yang jahil (bodoh) apabila melakukan suatu
kesalahan.
Poin kedua
Kejahilan (kebodohan) yang dimaksud para ulama dan yang dapat
diberikan udzur adalah kejahilan yang tidak dilatar-belakangi oleh
kelalaian pelaku untuk bertanya atau menuntut ilmu kepada ulama.
Dengan demikian, batas kejahilan yang diberikan udzur adalah
(ketidaktahuan yang tidak tercakup dalam) pengetahuan maksimal yang
dimiliki oleh pelaku kesalahan, tidak dilatarbelakangi oleh kelalaian
yang telah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, para ulama tidak memberikan udzur kepada pelaku
kesalahan yang lalai untuk belajar sementara dia mampu dan mudah untuk
melakukannya. Mereka juga tidak memberikan udzur kepada seorang yang
fanatik buta terhadap pendapat seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara dia mampu untuk menelaah.
Poin ketiga
Ulama ahlus sunnah wal jama’ah berselisih pendapat dalam beberapa
permasalahan, manakah yang dapat diberikan udzur dan mana yang tidak.
Menurutku, hal ini berpulang pada penentuan ‘illat yang tepat pada suatu teks dalil (tahqiq al-manath) untuk diaplikasikan pada suatu kasus tertentu.
Dengan demikian, mereka pada dasarnya sepakat bahwa kejahilan
merupakan salah satu sebab udzur dibeirkan kepada seseorang. Akan tetapi
mereka berselisih pendapat pada kasus tertentu. Apakah pelaku kesalahan
dalam kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai seorang yang jahil
(bodoh/tidak tahu)? Dan apakah udzur kejahilan dapat diterapkan dalam
kasus tersebut?
Contoh akan hal ini adalah sebagai berikut:
Pada saat ini media informasi telah menjamur, baik berupa media
cetak, audio maupun visual. Kemudian di sebagian negeri Islam terdapat
sekelompok kaum muslimin yang melakukan thawaf di kuburan, berdo’a
kepada penghuninya dan menggantungkan harapan kepada mereka serta
meyakini bahwa beberapa wali tertentu memiliki otoritas selain Allah
dalam mengatur alam semesta. Semua hal tersebut merupakan kufur akbar
(kekufuran yang dapat mengeluarkan seorang dari Islam).
Melihat contoh kasus di atas, para ulama berselisih pendapat terkait status mereka, apakah telah kafir atau tidak.
Pendapat pertama: Sebagian ulama berpendapat mereka
telah kafir. Ulama tersebut tidak menetapkan keislaman bagi mereka
karena pada asalnya mereka tidak merealisasikan hakikat keislaman. Tidak
pula mereka diberikan udzur kejahilan karena berbagai sarana untuk
memastikan dan mengenal kebenaran mudah ditemukan. Dari sisi tersebut
mereka dianggap lalai sehingga tidak dapat diberikan udzur.
Pendapat kedua: Ulama lain memiliki pandangan yang
berbeda dengan menyatakan bahwa mereka yang disebutkan dalam kasus di
atas dapat diberikan udzur atas kejahilan (ketidak tahuan) mereka. Udzur
diberikan karena mereka mengikuti orang-orang yang mereka anggap
sebagai tokoh atau ulama.
Ketika salah seorang dari mereka melihat seorang yang dianggap alim atau cendekiawan di negeri tersebut melakukan thawaf
di kuburan, berdo’a kepada mayit dan memiliki keyakinan yang kufur,
maka hal ini merupakan syubhat/alasan yang dapat dijadikan pertimbangan
agar udzur kejahilan diberikan kepada orang tersebut. Terlebih jika kita
melihat realita bahwa media massa berada di pihak yang kontra dengan
ulama yang mendakwahkan sunnah dan tauhid, dimana ulama tersebut kerap
dituduh sebagai pihak yang keras dalam berdakwah, dicap sebagai khawarij
dan berbagai gelar yang buruk (sehingga menyebabkan orang awam antipati
terhadap ajaran Islam yang benar).
Perselisihan pendapat yang terjadi sebagaimana telah disampaikan sebelumnya terletak pada penentuan ‘illat pada suatu dalil untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Inilah rahasia mengapa terkadang anda menemukan di sebagian risalah ad-Durar as-Saniyah
terdapat sebagian teks yang secara tekstual tidak memberikan udzur
kejahilan pada pelaku kesyirikan, sedangkan di risalah yang lain
memberikan udzur kejahilan. Rahasianya adalah risalah-risalah tersebut
terkait dengan kasus tertentu. Pendapat para ulama yang ada dalam
risalah tersebut tengah menentukan hukum pada suatu kasus dan risalah
dimaksud memang disusun untuk kasus tersebut.
Apabila mereka yang membaca risalah tersebut memperhatikan kandungan ini niscaya tidak akan menemukan kontradiksi.
Demikian pula yang patut dijadikan perhatian adalah pihak yang
memegang pendapat pertama tidak selayaknya dicap sebagai Khawarij.
Sebaliknya, pihak yang menguatkan pendapat kedua tidak semestinya
digelari dengan Murji-ah.
Hal ini dikarenakan kedua pihak tidak akan menghukumi kekafiran
seorang dan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan kecuali setelah adanya
proses qiyam al-hujjah (penegakan hujjah) atas orang tersebut.
Wa billahi at-taufiiq.
Syaikh Dr. Muhammad bin Umar Baazmuul
***
Penerjemah:
Post a Comment