MENGQADHA’ SHALAT YANG DITINGGALKAN DENGAN SENGAJA MENURUT EMPAT MADZHAB*





Seorang muslim yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan syari’at dalam kondisi dia telah wajib melakukannya, maka dia telah melakukan dosa besar, dan wajib baginya untuk bertaubat. Apabila dia bertaubat, maka WAJIB baginya untuk MENGQADHA’ semua shalat yang dia tinggalkan sebelumnya. Ini merupakan pendapat empat madzhab sekaligus ( Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Apakah mereka memiliki dalil dalam hal ini ? tentu saja. Secara garis besar, dalil mereka ada dua macam ; pertama ijma’, dan kedua qiyas (analogi).

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ الَّذِينَ يُعْتَدُّ بِهِمْ عَلَى أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلَاةً عَمْدًا لَزِمَهُ قضاؤها وخالفهم أبو محمد على ابن حزم فقال: لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا وَلَا يَصِحُّ فِعْلُهَا أَبَدًا قَالَ بَلْ يُكْثِرُ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى وَيَتُوبُ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ مَعَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْإِجْمَاعِ بَاطِلٌ مِنْ جِهَةِ الدَّلِيلِ وَبَسَطَ هُوَ الْكَلَامَ فِي الِاسْتِدْلَالِ لَهُ وَلَيْسَ فِيمَا ذَكَرَ دَلَالَةٌ أَصْلًا

“Para ulama’ yang diperhitungkan telah sepakat, sesungguhnya seorang yang meninggalkan shalat secara sengaja, wajib baginya untuk mengqadha’nya. Abu Muhammad bin Hazm menyelisihi mereka, beliau berkata : “Selamanya dia tidak akan mampu untuk mengqadha’nya, dan selamanya tidak sah dia lakukan. Bahkan hendaknya memperbanyak melakukan kebaikan serta shalat sunnah untuk memperberat timbangan kebaikannya di hari Kiamat serta memperbanyak istighfar dan taubat kepada Allah.” Apa yang dia nyatakan ini, selain menyelisihi ijma’, juga batil dari sisi dalil. Dia menjelaskan secara luas dalam masalah pendalilan, padahal tidak ada sisi pendalilan sama sekali di dalamnya.” [ Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/71 ].

Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali –rahimahullah- berkata :

وَلَا نَعْلَمُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ خِلَافًا فِي أَنَّ تَارِكَ الصَّلَاةِ يَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا

“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ muslimin, sesungguhnya seorang yang meninggalkan shalat, wajib baginya untuk mengadha’nya.” [Al-Mughni : 2/332].

Adapun dari sisi qiyas, maka seorang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja, diperintahkan nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk mengodha’nya berserta kaffarah (tembusan), sebagaimana diriwayatkan oleh Imam  Al-Baihaqi dan Abu Dawud dengan sedikit perbedaan redaksi, dan sanadnya dinyatakan baik oleh Imam An-Nawawi –rahimahullah-. Jika seorang yang meninggalkan puasa secara sengaja serta mendapatkan dosa dari perbuatannya diperintahkan untuk mengqadha’, maka seorang yang meninggalkan shalat tentu juga demikian adanya, karena keduanya sama.

Seorang yang meninggalkan shalat karena tidak sengaja (seperti lupa atau ketiduran), dia tidak berdosa, akan tetapi tetap diwajibkan untuk mengqadha’nya (menggantinya) saat ingat atau telah bangun dari tidurnya. Jika demikian, seorang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibolehkan syari’at, tentu lebih wajib laki untuk mengqadha’nya. Karena dia telah berdosa dengan perbuatannya. (Simak : Al-Majmu’ : 3/71).

Hal ini dimulai ketika seorang telah masuk usia akil balig. Jadi, misalnya seorang sejak usia lima belas tahun tidak shalat, lalu ia taubat usia tujuh belas tahun, maka dia harus mengqadha’ shalatnya selama dua tahun penuh. Caranya, setiap kali selesai menunaikan shalat fardhu, dia shalat kembali dalam rangka mengqadha’ shalat yang pernah dia tinggalkan dahulu. Misalnya : setelah shalat Subuh, dia shalat Subuh kembali dengan niat qadha’. Apabila dia meninggal dunia sebelum qadha’nya selesai, insya Allah akan diampuni karena ia telah berniat dan berusaha.

Adapun pendapat Ibnu Hazm yang tidak mewajibkan qadha’ - diikuti oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim -, merupakan pendapat yang lemah karena telah menyelisihi dua hal, 1). Konsensus ulama’, dan 2). Qiyas (analogi). Ibnu Hazmi sendiri, termasuk ulama’ yang menolak adanya qiyas dalam syara’. Sehingga wajar beliau tidak menggunakan qiyas dalam masalah ini. Menurut Imam An-Nawawi sendiri, Ibnu Hazm tidak terhitung dalam ijma’ serta tidak dianggap penyelisihannya kepada ijama’. Ini selaras dengan pernyataan beliau (An-Nawawi) terhadap Dawud Adz-Dzahiri sebagai senior Ibnu Hazm. Imam An-Nawawi mengatakan :

والمختار عند الأصولين أن داود لا يعتد به في الإجماع و الخلاف

“Menurut pendapat yang terpilih, di sisi para ahli ushul, Dawud (Adz-Dzahiri) tidak diperhitungkan dalam ijma’ dan khilaf (perbedaan pendapat).” [Al-Majmu’ : 2/357].

Jika menyelisihi jumhur ulama’ saja sudah merupakan suatu yang berat, tentu menyelisihi empat madzhab sekaligus merupakan perkara yang lebih berat lagi, apalagi menyelisihi Ijma’.  Oleh karena itu, mengikuti pendapat empat madzhab lebih aman dan menenangkan hati –insya Allah-. Sebagian pihak meninggalkan pendapat Ibnu Hazm yang menghalalkan musik karena –katanya- menyelisihi empat madzhab. Lalu kenapa mereka mengambil pendapat Ibnu Hazm dalam masalah ini ? padahal sama-sama menyelisihi empat madzhab. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat. Barakallahu fiikum.


Oleh ust. Abdullah Al Jirani

Solo, 20 Jumadil Akhir 1440 H/27 Maret 2019

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post