Kedustaan Kisah Taubat Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah

Suatu perkara yang sangat membingungkan banyak  orang  sebagaimana yang disebutkan pada beberapa sumber bahwa Syeikhul Islam Rahimahullah telah menulis sebuah surat yang di dalamnya terdapat aqidah yang menyalahi apa yang beliau dakwahkan dan fatwakan sepanjang hidupnya, bahkan menjadi sebab beliau dimasukkan kedalam penjara.
Maka kami akan memberikan sanggahan dan bantahan atas perkara tersebut:
Kisah rujuk atau taubatnya beliau kedalam aqidah Asy’ari. Pent) bisa dirujuk di sini:
  • Muridnya -Ibnu Abdil Hadi- (Wafat tahun 744 Hijriah) Seperti yang terdapat pada (Uqududduriyyah: 197) yang dinukil dari Az-Zahabi.
  • Az Zahabi (Wafat tahun 748 Hijriah) –muridnya- seperti yang telah dinukil oleh Ibnu Abdil Hadi diatas:
Lafaznya adalah seperti berikut
"...terjadilah perkara yang panjang, kemudian dikirimlah sebuah surat kepada Sulthan Syam untuk memasukan (Ibnu Taimiyah Rahimullah) ke dalam penjara, maka surat tersebut dibaca / diketahui masyarakat, masyarakat menjadi sedih. Dia (Syaikhul Islam) dipenjara satu tahun setengah (tahun 707 H) kemudian dibebaskan dan dia (Syaikhul Islam) diminta untuk menulis surat pernyataan (pernyataan untuk bertaubat) diancam dan hendak dibunuh jika tidak menulisnya. Dia bermukim di Mesir membacakan / mengajarkan Ilmu dan manusia berkumpul di sisinya."
  • Ibnul Muallim (Wafat tahun 725 Hijriah) di dalam kitab “Najmul Muhtadi wa Rajmil Mubtadi” (Naskah di Paris Nombor: 638) dan Nuwairi (Wafat tahun 733 Hijriah) di dalam Kitab Nihayatul Arab -lihat Kitab Aljami’ lishirathi syaikhil Islam Ibnu Taimiyah halaman: 181-182, pada kitab tersebut diterangkan bahwasanya Majlis (taubat, pent) tersebut setelah kedatangan Amir Husamuddin Muhinnan (Rabi'ul Akhir 707 Hijriah) dan Syeikhul Islam dibebaskan pada hari Juma’at bersamaan 23 Rabi'ul Awal 707 Hiriah.
Kemudian An-Nuwairy menukilkan isi surat tersebut yang menceritakan apa yang terjadi, bahwa (Syeikhul Islam) telah menyebutkan bahwa dia adalah “Asy'ari”, dan meletakkan kitab Asy’ari diatas kepalanya, serta rujuk (kembali) pada beberapa masalah ('Arasy, al-Qur’an, nuzul, dan Istiwa) dari mazhabnya –ahlussunnah-. Surat tersebut bersamaanl 25 Rabi'ul Awal 707 Hijriah.
Kemudian diadakan majlis berikutnya, dia (syeikhul Islam) menulis serupa dengan tulisan sebelumnya pada Rabi'ul Akhir 707 Hijriah dan dia disumpah.
  • Ad-Duwadi (Wafat setelah tahun 736 H) menyebutkan dalam Kitab “Kanzud Durar” bahwa mereka mengadakan majlis berikutnya pada tarikh 12 Rabi'ul akhir 707 Hijriah setelah perginya amir Husamuddin, dan telah sepakat untuk mengubah lafaz-lafaz tentang Aqidah dan berakhirnya majlis dalam keadaan baik.
  • Ibnu Rajab (Wafat tahun 795 H) menyebutkan Dalam Kitab Dzail Alat Thabaqatil Hanabilah serupa dengan yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Hadi pada Kitab Al-Uqud. Kemudian dia berkata : “Az-Zahabi, Al-Barzali dan lain-lain telah menyebutkan bahwa Syeikh telah menulis sebuah surat secara Mujmal (global) yang mengandung perkataan dan lafaz ketika dia di ancam untuk dibunuh.”
  • Ibnu Hajar (Wafat Tahun 752 H) dalam Kitab Ad-Durarul Kaminah serupa dengan apa yang disebutkan oleh An-Nuwairi dalam Kitab “Nihayatul Arab” kemudian Ibnu Hajar mengaitkan nukilan tersebut kepada Tarikh Al-Barzaliy.
  • Ibnu Taghri Bardi (Wafat tahun 874 H) dalam kitab Al-Minhal As-Shufi serupa dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Konteks penukilan menunjukkan bahwa dia menukil dari kitab Kamaluddin bin Zamlakani -permusuhannya dengan Syeikhul Islam sangat terkenal-. Di dalam kitab tersebut terdapat biografi Syeikhul Islam, dia juga telah menukil dari kitab An-Nujum Az-Zahirah.
  • Ada pun Barzaliy (Wafat tahun 739 H) -Sahabatnya- tidak menulis sama sekali kejadian-kejadian tersebut pada tahun-tahun tersebut. (Aljami’ lishirathi syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 213-214)[1]
  • Ibnu Katsir hanya menyebutkan kisah yang berkaitan dengan taubat tersebut pada peristiwa yang terjadi pada tahun 706 Hijriah tanpa menyebutkan kelanjutannya dengan cerita sebagai berikut: "Dan pada malam Aidul Fitri Al-Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari mazhab Asy-Syafi’i, Al-Maaliki, dan Al-Hanafi, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah Al-Baaji, Al-Jazarii, dan An-Namruwy, dan mereka mengharapkan agar Syeikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari penjara. Sebahagian hadirin memberikan beberapa syarat, di antaranya: Beliau harus merujuk/kembali dari sebagian aqidah dan mereka mengirim utusan agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau menolak hadir (ke majlis tersebut) dan tetap hati (untuk tidak hadir). Utusan itu kembali sehingga 6 kali. Beliau tetap kukuh pada pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majlis itu pun dibubarkan dan mereka pun kembali tanpa mendapat jawaban”. Cerita tersebut memberi kesan bahwa sebahagian kisah taubat ini memang ada, namun akhir dari kisah tersebut adalah justru menguatkan pendapat bahawa Ibnu Taimiyah lantas menulis surat yang menguatkan Aqidahnya, bukan surat yang menyatakan bahwa dia Adalah Asy’ari. Ibnu Katsir tidak mengisyaratkan penulisan surat di sini tetapi di tempat lain disebutkan bahawa Ibnu Taimiyah menulis jawapan ringkas terhadap undangan taubat dan menulis bantahan terperinci dalam kitab yang kemudian dinamakan Tis’iniyat. Akan datang penjelasan tentang sebab ditulisnya kitab ini disisi ketiga tertolaknya kisah akhir taubat Ibnu Taimiyah. Dari uraian di atas jelaslah bahwasanya:
    1. Sebagian Ahli Sejarah tidak menyebutkan kisah tersebut dan juga sama sekali tidak ditulis.
    2. Sebagian dari Ahli Sejarah hanya mengisyaratkan adanya kisah tersebut tanpa memperincikan surat yang ditulis dan atau menyebutkan bahwa penulisan surat tersebut disertai tekanan dan ancaman pembunuhan.
    3. Sebagian dari Ahli Sejarah ada yang memperincikan dan menyebutkan teks surat tersebut, tetapi tanpa menyebutkan bahwa penulisan surat disertai tekanan dan ancaman pembunuhan.
    Dari uraian tersebut kita dapat mengungkapkan bahwa sesungguhnya Ibnul Muallam dan An-Nuwairi telah menyendiri (asing) diantara orang-orang yang hidup sezaman dengan Syeikhul Islam tentang permasalahan rujuknya beliau dari segi konteks tulisannya. Dan itu diikuti oleh sebagian Ahli Sejarah.
    Oleh kerana itu, dari riwayat  ini dapat diambil salah satu sikap seperti berikut:
    1. Kita mendustakan semua yang telah disebutkan oleh para Ahli Sejarah baik secara global maupun terperinci, dan kita katakan bahwa semua itu tidak mungkin terjadi.
    2. Kita menetapkan asas kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun berkaitan rujuk dari Aqidah , dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihan yang jelas dengan apa yang telah didakwahkan oleh Syeikhul Islam sebelum tahun tersebut dan setelahnya.
    3. Kita menetapkan seluruh tulisan yang Ibnul Muallim dan An-Nuwairi telah menyendiri (diam) berkaitan masalah rujuk dan surat.
    Sikap pertama menusuk dada sendiri! Sedangkan sikap ketiga sama saja dengan menetapkan penyendirian dan keganjilan serta mendahulukan keduanya atas pendapat lain yang masyhur dan lebih banyak.
    Yang tsabit berdasarkan pemeriksaan dan tarjih adalah sikap yang kedua: yaitu Syeikhul Islam telah menulis ungkapan secara global setelah diancam dan dipaksa. Tetapi di dalam ungkapan tersebut tidak terdapat kata rujuk dari Aqidahnya, tidak melakukan kebohongan terhadap aqidah yang batil, dan tidak menulis hal itu seluruhnya.
    Hal tersebut disebabkan beberapa sebab yang dapat dilihat dari 3 sisi:
    1. Riwayat cerita
    Dari riwayat tersebut, orang-orang yang tidak berpihak kepada Ibnu Taimiyah menggunakan riwayat dari Ibnul Muallam, An-Nuwairy dan Ibnu Hajar yang menukil dari Tarikh Ar-Barzaly tanpa sama sekali mempedulikan riwayat-riwayat lain yang bertentangan atau berbeda dengan riwayat tersebut.
    Khusus untuk Ibnu Hajar, kemungkinan beliau salah menukil atau menukil dari orang lain, karena dalam Tarikh Al-Barzaly tidak disebutkan cerita tersebut, justru Ibnu Rajab mengatakan bahwa Al-Barzaly (beliau tidak menyebutkan kitab Tarikh) dan juga Az-Zahabi menyebutkan sebagian kisah yang mengatakan bahwa hal itu terjadi di atas paksaan dan tanpa ada kata-kata taubat kecuali kata-kata global saja.
    Jika kita membandingkan riwayat-riwayat diatas, maka jelaslah kualitas riwayat pihak yang mendukung Ibnu Taimiyah lebih unggul karena terdiri dari para Huffaz yang telah disepakati dan juga sezaman dengan Ibnu Taimiyah, artinya riwayatnya lebih ‘ali [2]. Adapun Ibnu Hajar, beliau menyalahi periwayatan Al-Barzaly, Az-Zahabi, Ibnu Abdil Hadi dan juga Ibnu Rajab. Lagi pula beliau menukil cerita tersebut karena tidak Muasharah dengan Ibnu Taimiyah dan penukilannya dilihat sebagai Syaz[3].
    2. Fakta setelah peristiwa tersebut
Sisi ini menguatkan sikap kedua berdasarkan fakta-fakta berikut:
    • Tulisan ini menyelisihi Aqidah Syeikh yang beliau dakwahkan dan perjuangkan sepanjang hidupnya, sebelum kejadian tersebut dan sesudahnya.
    • Tidak terdapat sedikitpun jejak di dalam kitab dan karangannya yang menunjukkan beliau telah rujuk, isyarat yang menunjukkan surat ini, atau isi dari tulisan ini. Padahal kisah tersebut terjadi sekitar tahun 707 Hijriah, sedangkan beliau Wafat tahun 728 Hijriah. Itu artinya beliau dikatakan beraqidah Asy’ari selama kurun tersebut atau sekitar 21 tahun lamanya. Ini amat mustahil karena Ibnu Taimiyah telah mengarang banyak kitab-kitab Salafiyah setelah tahun-tahun tersebut. Kitab Dar’ut Taarrud dikarang oleh Ibnu Taimiyah setelah kembalinya beliau dari Mesir seperti yang telah dijelaskan oleh Muhaqqiqnya dengan bukti-bukti yang amat jelas pada Muqaddimah Kitab tersebut. Kitab tersebut sangat terkenal dan kemudian dibantah oleh oleh tokoh Asyairah yang bernama Kamaluddin bin Syarisyi, kemudian dijawab oleh Ibnu Taimiyah dengan sebuah karangan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Rajab, Ibnu Abdul Hadi, Az-Zahabi, dan Lain-lain. Kitab tersebut telah diringkaskan oleh Badruddin Al-Hakari, seorang Qadhi bermazhab Syafi'i. Syeikh Rasyad selaku Muhaqqiq berpedoman kepada ringkasan tersebut dan sembilan naskah lainnya. Naskah tersebut ada yang berbeda dan ada yang saling membenarkan. Kemudian setelah itu, Ibnu Taimiyah mengarang Minhajus-Sunnah, yaitu salah satu kitab salafiyyahnya yang paling terkenal.
    • Syeikhul Islam Rahimahullah telah banyak dilecehkan dalam berbagai masalah sebelum tahun kejadian tersebut maupun setelahnya, dipenjara karena masalah tersebut, dan dicela. Tapi beliau tidak sedikitpun diketahui rujuk dari pendapatnya sedikitpun. Paling kurang beliau hanya berhenti berfatwa sebentar, kemudian kembali melakukan hal itu dan berkata: “Saya tidak dapat menyembunyikan ilmu”, seperti pada masalah Thalaq (Al-Uqud halaman 325), Bagaimana mungkin kali ini beliau menulis surat kepada mereka apa yang bertentangan dengan Aqidah Ahlus sunnah dan setuju dengan Mazhab Ahli Bid’ah. Keadaan musuh beliau adalah seperti yang beliau sifatkan sendiri ketika dikatakan kepada beliau: “Wahai Tuanku! Sungguh telah banyak orang yang menentangmu!” Beliau berkata: “Sesungguhnya mereka seperti lalat, kemudian beliau mengangkat telapak tangannya kemulutnya dan meniupnya.” (Al-Uqud Halaman 268). Imam Az-Zahabi mensifatkan keteguhan Syeikhul Islam di depan musuh-musuhnya dengan mengatakan: “…..Hingga menentangnya sekelompok Ulama Mesir dan Syam dengan penentangan yang tidak ada bandingannya… dan dia orang yang teguh tidak pernah mundur dan tidak menyukainya, malah beliau tetap mengatakan kebenaran yang pahit sesuai dengan ijtihadnya, ketajaman fikiran, dan keluasan pengetahuannya pada qoul-qoul dan sunan.”
    • Pemalsuan terhadap fatwa beliau amat sering dilakukan. Ibnu Katsir mengisahkan cerita penahanan beliau dalam peristiwa yang terjadi di tahun 726 Hijriah kerana berfatwa masalah ziarah kubur yang diadukan kepada sultan. Pengadunya mengatakan bahawa Ibnu Taimiyah telah menulis surat yang isinya pengharaman untuk menziarahi kubur nabi dan orang-orang soleh berdasarkan Ijma. Lalu Ibnu Katsir membela gurunya dengan mengatakan bahawa itu adalah pemalsuan kerana gurunya tidak berfatwa tentang keharaman berziarah secara umum, namun yang haram adalah mengadakan musafir semata-mata untuk berziarah. Adapun berziarah tanpa melakukan musafir justru dianggap mustahab (sunnah) oleh gurunya. Pemalsuan fatwa beliau diakui banyak Huffaz diantaranya Az-Zahabi, Ibnu Abdil Hadi, Al-Barzali dan beliau sendiri di dalam Majmu' Fatawa dan salah satu pengakuan tersebut juga terdapat dalam Muqaddimah Kitab Tis’iniyat yang ditulis khusus untuk membantah kalam nafsi dan Aqidah Asy’ariyah.
    • Kisah Ini terjadi Bulan Rabi'ul Awal tahun 707 Hijriah, sebelumnya yaitu akhir-akhir tahun 706 Hijriah beliau masih dalam penjara di Mesir dan dijanjikan pembebasan jika mau mengubah beberapa perkara berkait Aqidahnya, namun Ibnu Katsir menjelaskan bahwa di akhir tahun 706 Hijriah ketika utusan dari sultan bolak-balik untuk mengundang beliau dan bahkan dijanjikan pembebasan, beliau tetap teguh dengan pendiriannya. Namun dia tidak menyebutkan teks perkataan dan tulisannya.
  • 3. Riwayat dari Syeikhul Islam sendiri.
    DR. Muhammad Bin Ibrahim Al-Ajalan telah mentahqiq sebuah Kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul “At-Tis’iniyyat” yaitu sebuah Kitab yang dikarang untuk membantah Aqidah Asy’ari secara terperinci dan sebahagian besarnya tentang kalaamun-Nafsi[4].

    Dari Muqaddimah kitab ini dapat dilihat dengan jelas lengkapnya peristiwa yang disebutkan oleh Ibnu Katsir pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di akhir Ramadhan di malam Aidul Fitri tahun 706 Hijriah tentang adanya utusan yang menginginkan kehadiran Syeikhul Islam dalam sebuah majlis dimana beliau diminta untuk menarik fatwa-fatwanya berkenaan Kalamullah, Jihah dan Tahayyuz, dan 'Arasy agar sesuai dengan Aqidah Asy’ariyah dengan hadiah pembebasannya dari Penjara.

    Namun beliau tetap teguh untuk tidak menghadiri acara tersebut dan hanya menulis jawaban ringkas dalam sebuah surat serta menulis jawaban terperinci dengan menulis sebuah kitab khusus. Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Ajalan memastikan berdasarkan Awal cerita di dalam Kitab tersebut bahwa Ibnu Taimiyah mulai mengarangnya pada Tahun 706 Hijriah disebabkan oleh permintaan untuk menghadiri majlis yang disana beliau diharapkan membuat sebuah pengakuan dan menarik fatwa-fatwa tentang Aqidah sebagaimana yang telah saya sebutkan.[5]

    Selanjutnya di awal kitab tersebut halaman 111 diterangkan bahawa utusan tersebut tersebut sebelumnya pernah datang juga membawa tulisan dari Ibnu Makhluf yang menggambarkan Aqidah Ibnu Taimiyah, namun ternyata tulisan tersebut isinya dusta karena sesuai dengan Aqidah mereka. Ibnu Taimiyah Memarahi utusan tersebut dan menyuruh mereka berlaku Adil. Begitu seterusnya, dimana utusan-demi utusan datang untuk meminta kehadiran beliau dalam majlis yang diadakan oleh Amir pada saat itu. Namun beliau selalu menolak hadir dan hanya menulis surat namun surat beliau didustakan.[6] Oleh kerana itu sangat berkemungkinan surat palsu itulah yang dibacakan dalam majlis yang tidak dihadiri oleh Ibnu Taimiyah tersebut lalu dinukil oleh sebahagian kecil ahli sejarah.

    Kesimpulan dari pembahasan ini adalah perlunya penguatan dan penggabungan beberapa cerita tentang rujuknya beliau kepada Aqidah Asy’ari agar mendapat kesimpulan yang adil dan jauh dari ketidakadilan.
    Dari penguatan dan penggabungan riwayat-riwayat tersebut jelaslah bahwa Kita dapat menetapkan asas kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun berkaitan tentang rujuk dari aqidah salaf dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihannya jelas dengan apa yang telah didakwahkan oleh Syeikhul Islam sebelum tanggal tersebut dan setelahnya.
    Semoga bermanfaat






    Dikutip dari Kitab “Al Jaami Lishirathi Syaikhil Islam” dengan beberapa penambahan

    [1] Didalam kitab tarikhnya, Al-Barzali memang tidak menyebutkan apapun tentang surat dan rujuk, tetapi penukilan sekelompok ahli sejarah (Ibnu Hajar dan Ibnu Rajab misalnya, pent) kepada kitab tersebut. Menunjukkan bahawa Al-Barzalli telah menyebutkan sesuatu tentang perkara tersebut. Kemungkinan dia menyebutkan pada kitab tarikhnya yang tidak diketahui, atau pada kitab lain semisal Mu’jam syuyukh.
    [2] Riwayat dengan rantai sanad yang lebik pendek, dan susunan sanad seperti ini merupakan nilai lebih, kerana mempermudah pemeriksaan dan mengurangkan kesalahan.
    [3] Riwayat seorang tsiqah yang menyalahi riwayat perawi lain yang lebih tsiqah atau lebih banyak jumlahnya.
    [4] Keyakinan khas Asy’ariyah tentang kalamullah dimana mereka mengatakan bahawa Kalam itu Qadim, Menyatu dengan Zat-Nya (Qaaimun Bizatihi), tanpa suara dan Huruf, adapun Al-Qur’an yang sekarang di dunia merupakan ta’bir atau interpretasi tafsiran dari kalamullah yang dilakukan oleh Malaikat Jibril 'alaihissalam.
    [5] Lihat tarikh Ta’lif kitab tersebut pada halaman 55 kitab Tis’iniyat.
    [6] Lihat dan renungkanlah halaman 109-119 rangkaian kisah tersebut yang merupakan bukti paling kuat bahawa kisah taubat tersebut adalah dusta.

    silakan mendownload bahan-bahan Artikel diatas:
    التسعينية ابن تيمية

    الجامع لسيرة شيخ الإسلام

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post