Secara literal, al-huda bermakna al-irsyad (tuntunan) dan dalaalah (penunjuk). Bila dikatakan, hadaahu li al-diin (Dia memberinya petunjuk kepada agama), maksudnya adalah, Dia memberinya petunjuk, dan hadaituhu al-thariq wa al-bait hidaayat ‘arraftuhu” (Aku memberinya jalan dan tempat kembali sebagai petunjuk, aku memberitahu kepadanya). Al-dlolaalah (kesesatan) adalah lawan dari al-irsyad.
Menurut terminologi syara’, al-huda bermakna, “Petunjuk menuju Islam dan beriman kepada Islam. Al-dlolal (sesat) menurut pengertian syara’, bermakna, “Berpaling dari Islam” [al-inhiraaf ‘an al-Islaam]. Definisi ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan (dlolalah)”.
Allah SWT menciptakan surga bagi muhtadin dan menyediakan neraka bagi orang-orang yang sesat. Allah memberikan pahala bagi muhtadin (orang yang mendapat petunjuk) dan mengadzab orang yang sesat. Adanya pahala dan siksa bagi muhtadin dan dlaalin menunjukkan, bahwa hidayah dan dlolalah merupakan akibat langsung dari perbuatan manusia, bukan semata-mata akibat dari perbuatan Allah SWT. Sebab, jikalau petunjuk dan kesesatan itu dari Allah secara langsung, adanya pahala dan siksa bagi muhtadin dan dloolin, sama artinya telah menisbatkan kedzaliman kepada Allah swt.[1] Hal ini bertentangan dengan firman Allah, artinya,
“Dan tidaklah Tuhanmu mendzolimi hambanya.” (As-sajadah:41).
“Firman yang lain, “Dan kami tidak akan mendzolimi hambanya”.(Al-qaaf:29)
Benar, ada beberapa ayat yang menunjukkan bahwa nisbah hidayah dan dlolalah itu datangnya dari Allah SWT. Ayat-ayat semacam ini menunjukkan, bahwa hidayah dan dlolalah bukan akibat langsung dari perbuatan hamba, namun datang dari Allah SWT. Namun demikian, ada ayat lain yang maknanya berseberangan dengan makna yang ditunjukkan ayat-ayat semacam ini. Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa nisbah hidayah dan dlolalah itudatangnya dari seorang hamba bukan dari Allah SWT.
Lalu, bagaimana kita mengkompromikan pertentangan-pertentangan tersebut? Untuk meniadakan kontradiksinya, dua kelompok ayat yang bertentangan tersebut harus dipahami dengan pemahaman syar’iy.
Ada sekelompok ayat yang menisbahkan hidayah dan dlalalah kepada Allah swt. Sekelompok ayat yang lain menisbahkan hidayah dan dlalalah kepada manusia, bukan kepada Allah swt. Adanya kontradiksi ini menunjukkan bahwa makna yang hendak ditonjolkan oleh kedua kelompok ayat tersebut adalah makna syar’iy.
Berikut ini kami ketengahkan beberapa ayat yang menisbahkan hidayah dan dlolalah kepada Allah. Ayat-ayat ini menunjukkan makna yang sangat jelas, bahwa Allah swt semata yang memberi hidayah dan dlolalah. Allah swt berfirman, artinya:
“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki kepada siapa yang bertaubat.” (Ar-ra’du:27).
“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki.” (Al-fathir :8).
“Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki.” (Al-Ibrahim:4).
“Akan tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki”.(al-Nahl:93)
“Barangsiapa dikehendaki Allah mendapat untuk ditunjukki maka akan dipermudah dadanya kepada Islam, dan barangsiapa dikehendaki untuk disesatkan maka Allah menjadikan dadanya sempit dan ragu , seakan akan naik ke atas langit.” (Al-Nisaa’:60).
“Siapa yang dikehendaki Allah tersesat maka sesatlah ia, dan barangsiapa dikehendaki mendapat hidayah maka disediakan bagi mereka jalan yang lurus.” (Al-An’am:39).
“Allah-lah yang bisa memberi kebenaran.” (Yunus :35).
“Mereka mengucapkan,” Alhamdulillah kita telah dipimpin-Nya ke surga ini. Kalau sekiranya Tuhan tidak berkenan memberikan hidayah-Nya, tentu kita tidak akan terpimpin.” (Al-A’raf :43).
“Barangsiapa yang disesatkan Allah maka dia orang yang terpimpin, siapa yang tersesat maka tidak akan yang melindunginya dan memimpinya.” (Al-Kahfi:17).
“Engkau tidak bisa memberi petunjuk orng yaang kau senangi , tetapi Tuhanlah yang akan memberi petunjuk kepada orang yang dihekendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56).
Manthuq (pengertian tekstual) ayat-ayat diatas menunjukkan dengan jelas bahwa yang memberikan hidayah dan dlolalah adalah Allah SWT, bukan manusia. Ayat-ayat di atas seakan-akan memberi makna bahwa manusia tidak memiliki andil sama sekali dalam meraih hidayah dan dlalah. Artinya, seorang hamba tidak bisa menunjukki dirinya sendiri kecuali jika mendapatkan petunjuk dari Allah. Begitu juga sebaliknya, seorang hamba tidak akan tersesat jika tidak disesatkan Allah swt. Akan tetapi, ada qarinah yang memalingkan makna tekstual (manthuq) ayat-ayat di atas. Qarinah ini telah memalingkan makna ‘nisbah hidayah dan dlalah kepada Allah swt semata”, kepada makna lain, yaitu, “Allah-lah Sang Pencipta Hidayah dan Dlalah, sedangkan manusia memiliki andil langsung dalam menggapai hidayah dan dlalah”.
Qarinah yang memalingkan makna tekstual kelompok ayat yang menisbahkan hidayah dan dlalalah kepada Allah saja, ada dua macam; pertama, qarinah syar’iyyah, kedua, qarinah ‘aqliyyah.
Qarinah syar’iyyah ini bisa kita maklumi dari ayat-ayat yang menisbahkan hidayah dan dlolalah kepada hamba, bukan kepada Allah. Allah swt berfirman,artinya,”
“Katakanlah hai manusia, sudahkah sampai kepadamu kebenaran dari Tuhanmu? Barangsiapa berjalan menurut petunjuk dari Allah maka keuntungan hidayah itu untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengambil jalan sesat, maka akibatnya harus ditanggung sendiri. Sebab bukanlah aku menjadi pemelihara bagi dirimu sekalian.” (Yunus :108),
” Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu sendiri! Orang yang tersesat tidak akan dapat membahayakan dirimu bila kamu sudah mendapat hidayah dari Allah. Kelak kamu semua akan kembali kepada Allah. Kelak akan diterangkan kepada kamu segala amal perbuatanmu.” (Al-Maidah: 105),
“Siapa yang mendapatkan petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri.” (al-Zumar:41).
“..dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah:157)
“Dan orang-orang kafir berkata,”Ya Tuhan kami perlihatkanlah kepada kami dua jenis orang yang telah menyesatkan kami (yaitu) sebagian dari jin dan manusia.” (Fushilat:29)
“Katakanlah, “Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudlaratan diriku sendiri.” (Saba’:50)
“Maka siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?”(al-An’am:144)
“Ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau..”(Yunus:88)
“Dan tiadalah yang menyesatkan kami kecuali orang-orang yang berdosa.” (al-Syu’araa’:99)
“..dan mereka telah disesatkan oleh Samiri” (Thaha:85)
“..Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami..” (al-A’raaf:38)
“Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadari.” (Ali Imran:69)
“Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu..”(Nuh:27)
“..bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke adzab neraka.” (al-Hajj:4)
“Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan penyesatan) yang sejauh-jauhnya.”(al-Nisaa’:60).
Makna tekstual (manthuq) ayat-ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah subyek langsung dari hidayah dan dlolalah, bukan Allah swt. Manusia bisa menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain. Tidak hanya manusia, setan pun juga bisa menyesatkan manusia. Berdasarkan kelompok ayat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa nisbah hidayah dan dlalalah tidak hanya disandarkan kepada Allah swt semata, akan tetapi kepada manusia dan setan. Artinya, manusia mendapatkan petunjuk atau kesesatan karena dirinya sendiri, bukan semata-mata akibat langsung dari ‘Perbuatan’ Allah swt.
Ayat-ayat ini merupakan qarinah yang menunjukkan bahwa nisbah hidayah dan dlolalah kepada Allah –yang ditunjukkan oleh kelompok ayat pertama– bukanlah nisbah secara langsung, akan tetapi sekedar nisbah penciptaan saja. Artinya, Allah swt semata yang menciptakan hidayah dan dlolalah, bukan manusia.
Jika anda membandingkan kelompok ayat pertama dengan kelompok ayat kedua, kemudian memahaminya dengan pemahaman tasyri’iy , maka anda akan melihat dengan sangat jelas, adanya pengalihan arah ma’na satu dengan yang lain.
Kelompok ayat pertama menyebutkan, “Allahlah yang menunjukki kepada yang benar..” (Yunus:35), sedangkan ayat yang lain menyatakan, “Barangsiapa ingin mendapat petunjuk maka dia menunjukki dirinya sendiri” (Yunus:108). Bila dipahami secara sekilas, ayat pertama seakan-akan memberikan makna, bahwa Allahlah yang memberi petunjuk kepada manusia, tanpa keterlibatan dari manusia sedikitpun. Sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa manusia mendapatkan petunjuk karena dirinya sendiri. Kelompok ayat kedua ini telah mengalihkan pengertian ayat pertama. Bila kedua kelompok ayat itu dikompromikan, maka pengertian hidayah dalam ayat pertama adalah, Allah menciptakan hidayah di dalam diri manusia. Dengan kata lain, Allah telah menciptakan kecenderungan (qabiliyyah) untuk memperoleh hidayah dan kesesatan pada diri manusia. Ayat kedua menunjukkan bahwa manusia adalah subyek langsung dari kecenderungan yang telah diciptakan Allah swt tersebut. Artinya, manusia akan mendapatkan petunjuk bila ia cenderung kepada hidayah. Sebaliknya, manusia akan mendapatkan kesesatan bila dirinya cenderung kepada kesesatan.
Allah swt telah berfirman di dalam ayat yang lain, “Telah kamu beri petunjuk manusia dua jalan.”(al-Balad:10). Ayat ini memiliki pengertian, bahwa Allah telah menciptakan kecenderungan pada diri manusia untuk berjalan di jalan kebaikan, atau jalan keburukan. Tafsir ayat tersebut adalah, “Kami telah menciptakan kecenderungan hidayah di dalam diri manusia. Kemudian, Kami biarkan ia meraih hidayah dengan dirinya sendiri”.
Ayat-ayat yang menisbahkan hidayah dan dlolalah kepada manusia, merupakan qarinah syar’iyyah yang memalingkanmakna dari kelompok ayat pertama. Makna kelompok ayat pertama yang menisbahkan hidayah dan dlalalah kepada Allah secara langsung harus dipahami dengan,”sekedar penciptaan hidayah dan dlalalah oleh Allah swt.” Pemahaman semacam ini didasarkan pada qarinah syari’iyyah –adanya kelompok ayat kedua.
Qarinah ‘aqliyyah yang memalingkan makna kelompok ayat pertama adalah adanya hisab dari Allah swt atas orang yang mendapatkan petunjuk dan orang yang mendapatkan kesesatan. Allah swt memberi pahala kepada muhtadi (orang yang memperoleh petunjuk), dan mengadzab al-dlaal (orang yang sesat), serta menetapkan hisab atas perbuatan-perbuatan manusia. Allah swt berfirman artinya,
,”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang sholeh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba(Nya).” (Fushilat:46).
“Barangsiapa berbuat kebaikan sebesar biji dzarrah akan dibalas, dan barangsiapa berbuat kejelekan sebesar biji dzarrah akan dibalas pula”.(al-Zalzalah:7-8).
“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang sholeh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya,” (Thaha:112)
“Allah mengancam orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya.” (Taubah:68)
Jika pengertian nisbah hidayah dan dlolalah kepada Allah diartikan menjadikan Allah swt sebagai subyek langsung bagi hidayah dan dlolalah tanpa ada peran serta dari manusia, maka siksa Allah bagi orang kafir, munafiq, ma’shiyyat adalah tindak kedzaliman dari Allah swt. Maha Suci Allah dari hal itu. Sebab, bila hidayah dan dlalalah merupakan akibat langsung dari “Perbuatan Allah” tanpa peran serta manusia sedikitpun, tentu tidak ada ketersesatan yang diadzab, dan tidak ada ketertunjukkan yang diberi pahala. Jika, ada siksa bagi orang sesat, padahal ketersesatannya bukan atas andil dan perbuatannya dirinya, akan tetapi berasal dari Allah swt, tentu hal ini merupakan tindak kedzaliman.
Inilah qarinah ‘aqliyyah yang mengalihkan makna kelompok ayat pertama, dari makna mubasyarah –Allah swt semata yang menjadi subyek langsung hidayah dan dlalalah– kepada makna lain, yakni, Dialah yang menciptakan hidayah dan taufiq hidayah. Sedangkan, yang menjadi subyek langsung hidayah dan dlolalah adalah manusia. Atas dasar ini, manusia akan dihisab atas pilihannya sendiri. Bila ia memilih hidayah, dia akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika ia memilih dlolalah, dirinya akan mendapat siksa dari Allah swt.
Ayat-ayat yang kita perbincangkan di atas merupakan kelompok ayat yang di dalamnya membicarakan nisbah hidayah dan dlolalah kepada Allah.
Ada juga sekelompok ayat yang menisbatkan hidayah dan dlolalah dengan masyiah (Kehendak Allah). Allah swt berfirman,“menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjukki siapa yang dihendaki”. Pengertian masyiah (kehendak ) di sini adalah iradah. Makna ayat tersebut adalah; seseorang tidak akan mendapatkan hidayah dan dlalalah karena paksaan dari Allah. Akan tetapi, Allah memberi petunjuk manusia, dengan iradah dan masyiah-Nya. Dia menyesatkan manusia dengan iradah dan masyiahNya. Kehendak Allah pada ayat-ayat ini tidak boleh diartikan, bahwa manusia mendapatkan hidayah dan dlalah karena paksaan dari Allah swt. Akan tetapi, menunjukkan bahwa manusia bisa memilih untuk mendapatkan hidayah atau dlalalah, karena pilihannya sendiri, dan ini sesuai dengan Kehendak Allah swt.
Ayat-ayat berikut ini menunjukkan adanya sekelompok manusia yang tidak akan mendapat petunjuk dari Allah swt selama-lamanya. Allah swt berfirman,artinya,
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang pedih.” (al-Baqarah:6-7)
“Sekali-kali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka..”(Al-Muthaffifin:14)
” Dan telah diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman diantara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kalian bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” (al-Huud:36)
Ayat-ayat ini merupakan informasi dari Allah kepada para Nabi-Nya, bahwasanya ada sekelompok khusus manusia yang tidak akan pernah beriman. Ketentuan semacam ini termasuk di dalam Ilmu Allah. Bukan berarti, ada sekelompok manusia yang telah ditetapkan oleh Allah swt beriman dan kafir tidak beriman. Akan tetapi, seluruh manusia mempunyai kecenderungan untuk beriman. Rasul, dan para pengemban dakwah, diseru untuk mendakwahkan keimanan kepada seluruh manusia. Seorang muslim tidak boleh berputus asa terhadap keimanan seseorang. Ada pun orang yang disebutkan di dalam ilmu Allah, bahwa ia tidak akan beriman, Allah telah mengetahuinya, karena ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Ilmu Allah bukanlah yang faktor yang memaksa seseorang untuk mendapatkan petunjuk ataupun kesesatan. Akan tetapi, ketentuan bahwa seseorang akan mendapatkan petunjuk dan kesesatan karena hasil usahanya sendiri, merupakan sesuatu yang tercakup dalam Ilmu Allah. Selama Allah tidak mengabarkan kepada kita apa yang Dia ketahui, maka kita tidak boleh menjustifikasi ketidakimanan seseorang. Para nabi pun tidak menjustifikasi ketidakimanan seseorang kecuali setelah Allah mengkabarkan kepada mereka.
Sekelompok ayat lain berbicara tentang taufiq hidayah. Allah SWT berfirman,
” Dan Allah tidak menunjukki kaum yang fasiq” (al-Shaff:5)
“Allah tidak menunjukki kaum yang dzolim” (al-Shaff:7)
“Allah tidak menunjukki kaum yang kafir”.(al-Baqarah:264)
“Jika kamu mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang disesatkanNya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong.” (al-Nahl:37)
Pada ayat-ayat ini digambarkan, bahwa orang-orang dzalim, fasiq, dan lainnya tidak pernah diberi petunjuk Allah swt. Sebab, Allah swt tidak memberi taufiq hidayah kepada orang-orang tersebut. Taufiq hidayah berasal dari Allah SWT. Orang kafir, fasiq, dzolim, sesat, dan pendusta memiliki sifat yang bertentangan, bahkan menafikan taufiq hidayah. Allah swt tidak akan memberi taufiq hidayah, kepada orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu. Ini didasarkan pada satu kenyataan bahwa, taufiq hidayah merupakan sebab datangnya hidayah kepada manusia. Sedangan sifat-sifat fasiq, kafir, dzalim, pendusta merupakan sifat yang bisa menutup taufiq hidayah Allah swt. Barangsiapa disifati dengan sifat-sifat tersebut di atas, maka sebab hidayah tidak akan datang kepadanya.
Ayat terakhir yang perlu kita bahas adalah ayat berikut ini;
“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus” (al-Fatihah:6), “Tunjukkilah kami kepada jalan yang lurus.”(Shaad:22).
Makna ayat ini adalah, “Berilah kami taufiq, agar kami mendapat petunjuk, atau mudahkan bagi kami sebab-sebab menuju hidayah”. Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk selalu memohon kepada Allah swt, agar kita diberi taufiq oleh Allah swt. Sebab, taufiq itu datangnya dari Allah, sedangkan taufiq merupakan sebab datangnya hidayah dari Allah swt.
Kami sangat menghargai komentar pembaca sekalian, baik saran, kritik, bantahan dan lain sebagainya.
Bagi pembaca yang ingin berkomentar silahkan untuk login dengan mengklik Login di Tombol Login komentar dan pilih akun yang ingin anda gunakan untuk Login, Bisa dengan Facebook, Twitter, Gmail dsb.
peraturan komentar:
1. komentar pendek atau panjang tidak masalah, baik lebih dari satu kolom juga tidak apa-apa.
2. komentar menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar tidak berbelit-belit.
3. tidak menggunakan kata-kata kotor, hujat atau caci maki
4. langsung pada topik permasalahan
Post a Comment