DSM selalu dijadikan pembenaran aktivis LGBT dan aktivis HAM bahwa agar perilaku LGBT dianggap tidak menyimpang
Sekjen Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Rita Soebagio, M.Si mengatakan, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders” (DSM), sebuah ‘kitab’ yang berisikan mengenai kriteria gangguan mental dibuat dan disusun oleh pengidap kepribadian menyimpang.
“Lima dari tujuh orang tim task force DSM
adalah homoseksual dan lesbian, sisanya adalah aktivis LGBT”, terang
Rita Soebagio saat memberikan pemaparan pada seminar “Pengaruh LGBT
Terhadap Keluarga dan Ketahanan Nasional” yang diadakan Wadah
Silaturahmi (Wasilah) Muslimah Wan-TNI dan Polwan di Auditorium Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat, belum
lama ini.
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM) sendiri diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA),
selama ini dijadikan panduan bagi para psikolog dan psikiater untuk
menentukan diagnosa seseorang jika terjadi kelainan, penyimpangan atau
gangguan jiwa.
Di Indonesia, ada buku saku yang merupakan
rangkuman singkat DSM bernama (Pedoman Penggolongan & Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ).
Hanya saja, DSM selalu digunakan para
aktivis LGBT dan aktivis HAM untuk dijadikan pembenaran bahwa perilaku
para LGBT tidaklah menyimpang.
Karena itu, dengan informamsi ini, Rita
berharap para psikolog dan psikiatri Indonesia tidak berkiblat pada DSM,
terutama para psikolog dan psikiatri Islam yang landasannya adalah
Al-Qur’an dan Sunnah.
Saat dimintai keterangannya
hidayatullah.com, masalah ini, peneliti bidang psikologi ini
menambahkan, APA task force member terdiri dari Judith M Glassgold Psy. D
sebagai ketua (Lesbian), Jack Dreschers MD (Homoseksual), A. Lee
Beckstead Ph.D (Homoseksual), Beverly Grerne merupakan Lesbian, Robbin
Lin Miler Ph.D (Bisexual), Roger L Worthington (Normal) tapi pernah
mendapat “Catalist Award” dari LGBT Resource Centre, dan Clinton
Anderson Ph.D (Homoseksual).*
Post a Comment