Oleh: Susiyanto, M.Ag.
Barisan Hizbullah dan Barisan Sabilillah mungkin adalah nama yang bisa jadi asing bagi generasi muda Indonesia hari ini. Tidak heran, nama kedua laskar
rakyat ini memang jarang diperkenalkan dalam buku-buku sejarah di
bangku sekolah. Padahal peran Hizbullah dan Sabilillah cukup strategis
dan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah
peristiwa penting dan menentukan di tanah air seperti pertempuran Palagan Ambarawa, Pertempuran 10 November di Surabaya (sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan), Pertempuran 5 hari di Semarang,
dan lain sebagainya tidak lepas dari peran pasukan Hizbullah maupun
Sabilillah. Penumpasan pemberontakan PKI Muso tahun 1948 juga berkat
peran kedua laskar yang lahir dari rahim kesadaran jihad umat Islam di
Indonesia tersebut.
Kemerdekaan Indonesia tidak diraih
dengan diplomasi semata. Anugerah ini bahkan harus digenggam dengan
menguras darah dan air mata. Tulisan ini secara khusus didedikasikan
untuk mengenang peran perjuangan dan jasa-jasa para mujahid yang
tergabung dalam barisan Hizbullah dalam mengantar menuju gerbang
terbentuknya Republik Indonesia dan pertahanan kemerdekaan.
Mudah-mudahan buah baik berupa kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan
tidak akan membuat generasi hari ini menjadi durhaka dengan tidak
memahami langkah dan pilihan para pejuang di masa lalu.
KELAHIRAN HIZBULLAH
Barisan Hizbullah lahir dari rahim umat
Islam untuk mengentaskan masyarakat dari kesengsaraan akibat penjajahan.
Landasan utama perjuangan laskar rakyat ini adalah
menggunakan Al Quran dan Shunnah sebagai pedoman hidup. Dalam konsep
Islam, kebatilan dan kedzaliman harus dienyahkan. Dengan diiringi
semangat cinta tanah air dan keinginan untuk merdeka menentukan nasib
sendiri, maka terbentuklah barisan Hizbullah.
K.H. Hasyim Asy’ari menemui pembesar Jepang. (Sumber: SMI No. 7 Th. II – 1 April 2604, p. 1) |
Pada masa pendudukan Jepang di tanah
air, Dai Nippon mulai memperkenalkan programnya untuk membebaskan Asia
dari penindasan dan hegemoni Barat. Program yang dikenal dengan sebutan
“3A” ini disambut baik oleh rakyat Indonesia. Masa itu belum nampak sama
sekali motif Pemerintahan Jepang yang hakikatnya setali tiga uang
dengan kedatangan bangsa Kristen Eropa yang telah menjajah terlebih
dahulu. Tidak heran, dukungan mengalir dari berbagai kalangan, mulai
dari golongan nasionalis hingga agamis, termasuk umat Islam.[1]
Apalagi pada masa-masa sebelum
kedatangannya, nama Jepang sudah dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai
lawan Barat. Berbagai media di Tanah Air pada masa itu sering
memberitakan bahwa Jepang telah menjadi kekuatan baru yang tidak
terbendung di Asia pasca berhasil menguasai China. Bahkan muncul opini
bahwa tidak ada lagi yang mampu mematahkan perkembangan Jepang, termasuk
Barat. Harapan bermunculan dari berbagai pelosok Asia, ketika Jepang
menyerukan hendak mengusir bangsa-bangsa Barat dari Asia. Majalah “Berita Nahdlatoel Oelama’”
terbitan 1938 misalnya, berupaya meyakinkan bahwa dengan kemunculan
Jepang di pentas Internasional, – Perancis akan diusir dari Indo-China,
Australia dan India akan dibebaskan dari cengkraman Inggris, Siberia
akan dimerdekakan dari penjajahan Rusia, dan juga Indonesia dari
kungkungan Belanda. Semboyan Jepang, “Asia boeat bangsa Asia” rasanya seperti menjanjikan angin surga untuk bangsa-bangsa yang merindukan bebas dari penindasan bangsa Kristen Barat.[2]
Selain membentuk tentara PETA (Pembela
Tanah Air), Jepang mengijinkan para pemimpin ormas Islam yang terdiri
dari Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, dan lain-lain yang
tergabung dalam Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masyumi) untuk membentuk barisan relawan yang berisi para pemuda Islam yang tidak bisa bergabung di PETA.
Pada 14 Oktober 1944, lahirlah barisan
Hizbullah di Jakarta. Pelatihan pertama kali diselenggarakan di
Cibarusa, Bogor, Jawa Barat dengan diikuti sekitar 500 orang pemuda
muslim yang berasal dari 25 karesidenan di Jawa dan Madura. Pelatihan
ini dilakukan di bawah pengawasan seorang Perwira Jepang bernama
Yamagawa dengan dibantu sejumlah instruktur dari perwira PETA selama 3,5
bulan. Versi lain, buku “Sejarah Nasional Indonesia VI”
menyebutkan bahwa pembentukan Hizbullah dilakukan pada 15 Desember 1944.
Sementara pelatihan yang dilakukan di Cibarusa hanya berlangsung selama
2 bulan. Keanggotaan Hizbullah pada masa berikutnya sempat mencapai
50.000 personil, sama dengan jumlah pasukan Jibakutai (barisan berani mati). Di bidang kerohanian, mereka berada di bawah bimbingan sejumlah ulama antara lain K.H. Musthafa Kamil dari Jawa Barat untuk pembinaan jasmani; K.H. Mawardi dari Surakarta untuk bidang tauhid; K.H. Imam Zarkasyi dari Pesantren Gontor, Ponorogo; Kyai Mursyid dari Pacitan; Kyai Syahid dari Kediri, K.H. Abdul Halim dari Majalengka untuk bidang politik; K.H. Thohir Dasuki dari Surakarta untuk bidang Sejarah; Kyai Roji’un dari Jakarta; dan KH. Abdullah.[3]
Pelatihan dimulai pada jam 4 pagi dengan
bersama-sama melaksanakan shalat Subuh. Setelah itu mereka diharuskan
melaksanakan senam pagi (taiso) hingga pukul 6.00. Dilanjutkan
dengan apel pagi yang dibuka dengan takbir 3 kali dan berdoa dengan
menghadap kiblat. Barisan Hizbullah sejak awal telah menolak untuk
melakukan seikerei kepada matahari atau menghadap ke Istana
Tokyo sebagaimana anjuran Jepang. Berikutnya mereka melakukan kegiatan
kebersihan, mandi, dan makan. Pukul 8.00 hingga 10.00 mereka terlibat
dalam kegiatan pengajian dan ceramah keislaman. Pukul 10.00 hingga 12.00
dilanjutkan dengan kegiatan kemiliteran. Setelah shalat Dhuhur
pelatihan militer dilanjutkan hingga sore hari. Tengah malam tidak
jarang mereka dibangunkan mendadak untuk latihan mengantisipasi keadaan
darurat.
Contoh Tanda Lulus Pelatihan Hizbullah dengan diketahui K.H. Hasyim Asy’ari. (Sumber: Soepanto, Hizbullah Surakarta) |
Sebagai tanda lulus dari pelatihan, mereka akan mendapatkan surat pengakuan (semacam syahadah) yang diketahui oleh Ketua Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi), yaitu K.H.M. Hasyim Asy’ari. Secara umum, Hizbullah memang merupakan barisan yang dibentuk dengan kewajiban: “Tiap-tiap anggota yang sudah dilatih hendaklah berdjandji bahwa diri dan tenaganja diserahkan boelat-boelat pada ‘Masjoemi’”.[4]
Sementara Masyumi pada masa itu merupakan perwujudan “rumah besar” yang
mampu menyatukan umat Islam Indonesia dari berbagai elemen.
Secara umum sambutan masyarakat
terhadap barisan Hizbullah cukup positif. Karesidenan Surakarta,
misalnya, mengirimkan 25 pemuda yang sebelumnya merupakan hasil seleksi
secara ketat untuk mengikuti pelatihan tersebut. Setelah usai dan
kembali ke Surakarta, mereka disambut dengan meriah oleh umat Islam di
Surakarta bertempat di Masjid Agung. Pada 8 Juni 1945 diadakan
penyambutan lagi di Gedung Habiprogo Surakarta (sekarang Matahari
Singosaren).[5]
Sambutan yang sangat meriah terhadap
Hizbullah di Surakarta ini tidak mengherankan, sebab dari 25 pemuda yang
dikirim ke Cibarusa, 15 orang diantaranya berasal dari Madrasah Mambaul Ulum Surakarta. Sisanya, 5 orang dari Mualimin Muhammadiyah Surakarta, 3 orang dari Perguruan Al-Islam, dan masing-masing satu orang dari MULO-Mualimin Yogyakarta dan HIS Surakarta.[6]
Madrasah Mambaul Ulum Surakarta pada masa itu merupakan lembaga
pendidikan keagamaan berbasis pesantren yang cukup terpandang. Institusi
pendidikan ini resmi milik Kraton Surakarta yang didirikan pada masa
pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X (memerintah 1893 – 1939) dan
bertempat di lingkungan Masjid Agung Surakarta. Pendirian madrasah ini,
diantaranya dilatarbelakangi oleh ketidaksukaan sang raja terhadap
menjamurnya sekolah zending dan praktik kristenisasi yang dilakukan kepada pribumi Jawa oleh Belanda di wilayah kerajaan. Sebagai seorang panatagama, sang raja merasa berkewajiban untuk mendirikan sebuah institusi yang bisa menaungi kepentingan pendidikan umat Islam.[7] Santrinya diseleksi secara ketat dan lulusannya sebagian ditempatkan untuk mengisi jabatan di lingkungan kapengulon
(bidang urusan keagamaan dalam pemerintahan di istana). Para lulusan
itu akan mendapatkan syahadah (ijazah) yang ditandatangani langsung oleh
sang raja.
Buku dokumentasi “Hizbullah Surakarta” karya Soepanto |
Menurut catatan Kyai Ali Darokah, seorang ulama karismatik pengasuh Pesantren Jamsaren Surakarta[8],
antara tahun 1943 hingga tahun 1945 memang tidak banyak berlangsung
kegiatan belajar mengajar di lingkungan Madrasah Mambaul. Para santri
Mambaul Ulum banyak yang diterjunkan ke medan juang bergerilya melawan
penjajah Eropa. Para ulama dan santrinya juga terlibat aktif dalam
penataan barisan Sabilillah dan Hizbullah. Perjuangan mereka bahkan berlangsung hingga tahun 1950 saat mengusir Belanda dari Surakarta.[9] Kyai Ali Darokah sendiri sekitar tahun 1945 diketahui ikut mengelola Madrasah Mambaul Ulum.
Sambutan yang menggembirakan terhadap
pembentukan Hizbullah, juga datang dari para mantan pemimpin Laskar
Partai Arab Indonesia (P.A.I.). Setelah Laskar P.A.I. dibubarkan, para
pemuda peranakan Arab ini merasa gelisah, sebab tidak lagi memiliki
wadah untuk bersama-sama umat Islam lainnya memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Harapan mereka untuk menyumbangkan tenaga dalam membela nusa
dan bangsa bersemai kembali dengan kehadiran Laskar Hizbullah. Dalam
salah satu tulisan, seorang mantan pemuka Laskar P.A.I. menulis sambutan
terhadap pendirian Barisan Hizbullah sebagai berikut:
“Alhamdoeli’llah,
kini telah terboeka djalan bagi kami dengan berdirinja Tentera ALLAH,
dimana kami Peranakan Arab, diboekakan pintoe sebagai lain-lain kaoem
moeslimin, berdjoeang dalam Barisan ALLAH itoe. Maka kami sebagai bekas
Lasjkar P.A.I. dalam anggapan kaoem Peranakan Arab semoea sebagai
Moeslim telah memandang, bahwa satoe-satoenja pintoe bagi kami sekalian
telah terboeka oentoek mengoedji Iman sebagai Moeslim terhadap Agamanja
dan oedjian benar dan tidaknja pengakoean Indonesia sebagai Tanah Air
kami sendiri”.[10]
PERAN HIZBULLAH
- Pertempuran 10 November 1945
Perlu dipahami peristiwa 10 November 1945 di Surabaya atau dikenal dengan sebutan Soerabaia ’45
bukan merupakan peristiwa yang berdiri secara tunggal. Butuh
perencanaan dalam jangka panjang untuk mengusir sekutu yang bercokol di
Surabaya. Peristiwa 10 November tidak akan terjadi dengan sendirinya
jika tidak didahului dengan Resolusi Jihad. Resolusi
Jihad itu sendiri merupakan hasil kesepakatan. Peristiwa ini didahului
oleh perebutan kekuasaan dan senjata antara bangsa Indonesia dengan
Sekutu pasca kekalahan tentara Jepang mulai dari 2 September 1945.
Melihat situasi yang berkembang semacam itu K.H. Hasyim Asy’ariy mengundang para ulama’ yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama’
dari seluruh Pulau Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya pada
21-22 Oktober 1945. Ketokohannya sebagai ketua Masyumi dan sekaligus
menjadi sosok sentral Nahdlatul Ulama memungkinkan beliau untuk
memperoleh dukungan kekuatan dari berbagai elemen umat Islam pada masa
itu. Hasilnya, umat berhasil digerakkan untuk siap sedia berjihad mempertahankan kemerdekaan. Kesepahaman itu kemudian melahirkan sebuah fatwa yang dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad. Pada bagian inilah Barisan Sabilillah (Ulama’) dan Barisan Hizbullah memiliki peran besar untuk mengkoordinasikan kekuatan rakyat dalam perjuangan.
Kedatangan Inggis di Surabaya seharusnya
untuk melaksanakan tugas untuk melucuti senjata tentara Jepang. Dalam
menjalankan misi itu, mereka berjanji hanya akan menduduki obyek-obyek
yang sesuai dengan tugasnya yaitu kamp tawanan dan tidak akan
mengikutkan Angkatan Perang Belanda ke dalam pasukannya. Janji-janji ini
ternyata diingkari. Mereka bukan hanya bermaksud membebaskan Kolonel
Huiyer, dari Angkatan Laut Belanda dan kawan-kawannya, bahkan pada 27
Oktober pukul 11. 00 pesawat Inggris menyebarkan pamflet berisi perintah
agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata-senjata yang
dirampas dari Jepang. Selebaran provokatif inilah yang kemudian memantik
terjadinya kontak senjata awal antara para pemuda dengan pihak Inggris
pada pukul 14.00 siang.[11]
Salah satu episode heroik dalam peristiwa Surabaya ini adalah pidato Soetomo
(lebih dikenal dengan sebutan: “Bung Tomo”) dicorong radio yang mampu
membakar semangat juang rakyat dengan gelegak takbir. Siaran yang
dipancarkan dari radio pemberontakan di Jl. Mawar No. 4 itu kemudian
diterjemahkan ke berbagai bahasa antara lain Inggris, Cina, dan Arab
dengan tujuan agar dunia mendengar tentang kekejaman Sekutu dan juga
menunjukkan bahwa republik masih didukung oleh rakyat dan para pejuang.
Khusus penerjemahan ke dalam Bahasa Arab dilakukan oleh K.H. Thohir
Dasuki, ulama Surakarta tamatan dari Universitas Al-Azhar, Mesir, yang
juga pernah menjadi salah satu perintis dan pelatih Barisan Hizbullah di
Cibarusa, Bogor, Jawa Barat.[12]
- Palagan Ambarawa
Peristiwa Palagan Ambarawa merupakan
salah satu momen penting bagi bangsa Indonesia dalam mengusir Inggris.
Ambarawa, sebuah kota yang kini berada di wilayah Jawa Tengah, dulunya
merupakan salah satu pusat pertahanan penting bagi Belanda dan juga
sekutu. Pertempuran ini berlangsung antara 20 November hingga 25
Desember 1945. Kedatangan Inggris di Ambarawa yang mestinya bertugas
untuk mengurus tawanan perang, ternyata justru diboncengi NICA dan
mempersenjatai tawanannya.[13]
Dalam pertempuran ini Kolonel Sudirman, seorang anggota Muhammadiyah yang taat beragama, menerapkan strategi perang yang dikenal dengan nama “supit urang”. Dengan menggunakan model supit urang,
pasukan musuh bisa dikepung dari berbagai arah dan dihancurkan di
berbagai lini dengan mempertimbangkan kondisi geografis kota Ambarawa
yang di kelilingi sejumlah bukit dan gunung. Strategi penataan pasukan
ini sebenarnya merupakan strategi kuno yang sudah sangat lama digunakan
oleh raja-raja Jawa. Dalam kitab Kamandaka, sebuah kesusastraan Jawa kuno, strategi ini dinamakan “makara wyuha”. “Makara” di sini berarti “udang” atau sejenis kepiting dan “wyuha” artinya ”gelar pasukan” atau “susunan pasukan”.[14]
Dalam penggunaan strategi ini pasukan setidaknya dibagi ke dalam beberapa kelompok diantaranya: Kelompok pertama,
menempati bagian “kepala” atau “tubuh”. Pasukan yang ditempatkan pada
bagian ini merupakan pasukan induk yang memiliki kekuatan paling besar.
Tugasnya menghabisi musuh yang sudah dibuat lemah oleh pasukan di bagian
supit maupun kaki. Bisa diumpamakan, setelah mangsa bisa
terpegang oleh sapit (supit/ capit) udang, maka akan segera dimakan oleh
bagian kepala atau tubuhnya. Pasukan yang menempati bagian tubuh
terdiri dari empat batalyon yang dipimpin oleh Mayor Soeharto, Mayor
Sardjono yang bergerak di bagian kanan, serta mayor Adrongi dan Sugeng
Tirtosewoyo di sebelah kiri. Sementara bagian ekor dari tubuh ini diisi
oleh para relawan yang menyediakan perbekalan pasukan dan merawat korban
perang yang terluka. Bagian ekor ini juga diisi oleh barisan rakyat dan
sejumlah laskar yang dipersiapkan untuk memberikan bantuan apabila
pasukan-pasukan di bagian tubuh dan supit terdesak. Pasukan di bagian
tubuh yang dipimpin oleh Imam Androngi, Sardjono, Soeharto, dan Soegeng
Tirtosiswoyo berhasil menggempur kedudukan tentara sekutu yang bermarkas
di Gereja dan Pekuburan Belanda di sekitar Jalan Margoagung.[15] Sekutu merasa terdesak dengan serangan ini dan dengan segera mengerahkan serangan udara.
Kelompok kedua, merupakan
bagian kaki udang. Pasukan di kaki kiri melakukan pergerakan dari Jambu
ke Bandungan dan Baran, sebagian lagi lewat brongkol dengan terus
menyerang Sekutu di sektor tenggara. Mereka dipimpin Letkol Bambang
Sugeng dari resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun
Kamdani dari resimen 14/ devisi V Purworejo. Pasukan ini secara umum
berfungsi menyapu dan mempersiapkan medan perang termasuk mengantisipasi
jebakan yang mungkin ditinggalkan musuh. Terakhir, kelompok ketiga
adalah bagian sapit (supit). Pasukan ini biasanya difungsikan untuk
menimbulkan ketidakstabilan di kalangan musuh. Serangan-serangan
biasanya dilakukan secara mendadak dengan bergerilya.
Dengan menggunakan hikmat Supit Urang, situasi dan kondisi musuh akan senantiasa bisa dipantau. Sementara itu pasukan yang ditempatkan pada bagian sapit
(supit) kanan maupun sapit kiri akan terus membuat ketidakstabilan
dipihak musuh. Tidak jarang bagian kepala udang menjadi momok menakutkan
bagi pasukan musuh yang sudah kacau balau.[16] Barisan Hizbullah dalam pertempuran tersebut mendapatkan tugas tempur di sejumlah titik sapit.
Bersama barisan gabungan lainnya dari Surakarta, Hizbullah berhasil
menembak jatuh pesawat terbang sekutu di Rawa Pening, di pinggir Desa
Sumurup. Pilot pesawatnya tewas dikeroyok oleh rakyat setempat.[17]
Dalam masa perang ini sempat terbentuk satuan pasukan yang disebut Pasukan Gatjo (baca: Gaco), sebuah satuan dalam Barisan Hizbullah yang terdiri dari 46 anggota. Kata “Gatjo” ini bukan berarti “ngawur” sebagaimana maknanya dalam Bahasa Jawa, tetapi merupakan kependekan dari “Gabungan Tjalon Oelama”.
Anggotanya terdiri dari para santri yang ke depan di proyeksikan akan
menjadi Ulama’. Pada 25 dan 26 Desember 1945, dua orang dari Pasukan
Gatjo yaitu Banani dan Salekan mendapatkan syahid dalam sebuah pertempuran di depan Benteng Yansen, Ungaran, sebuah benteng yang dulunya pernah digunakan untuk menawan Pangeran Diponegoro. Jenazah keduanya, kemudian diantarkan ke Surakarta dan dimakamkan di Makam Pahlawan Jurug.[18]
Untuk mendukung perjuangan, Hizbullah
seringkali mengkoordinasikan kekuatan rakyat. Setelah Belanda yang
membonceng Sekutu mundur dari Ambarawa ke Semarang, komandan Hizbullah
yang bernama Munawir Syadzali (selanjutnya pernah diangkat menjadi Menteri Agama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto), mengumpulkan
masyarakat Ungaran untuk dilatih kemiliteran. Mereka terdiri dari guru
madrasah, kyai, lurah, camat, pegawai kabupaten, dan masyarakat umum.
Para peserta ini berasal dari seluruh kecamatan di Ungaran ini rata-rata
dibawa oleh para Kyai dan pimpinan pondok Pesantren masing-masing.
Antara lain dari Gunung Pati dibawa oleh Naib Mustajab. Dari Pringapus, Klepu dipimpin oleh Naib M. Turmudi, dan dari daerah lain oleh Carik Suprapto, Kyai Syakur, dan lain-lain.[19]
Pelatihan di laksanakan di lapangan Bandarejo di kaki Gunung Sewakul.
Di dekat lapangan itu terdapat bekas pabrik tenun milik orang Arab yang
kemudian diserahkan untuk difungsikan sebagai markaz Hizbullah. Warga
setempat tersebut memang sengaja dipersiapkan agar bisa mempertahankan
wilayah jika sewaktu-waktu musuh menyerang kembali.
- Penumpasan PKI Madiun
Tahun 1948 menjadi ujian yang berat bagi
bangsa Indonesia. Sejak dicetuskannya Negara Komunis (Negara Republik
Indonesia Sovyet) di Madiun pada 18 September tahun itu, umat Islam
sering mendapatkan berbagai gangguan dari kalangan komunis. Sejumlah
pesantren di serang berikut ulama’ dan santri menjadi korban kebiadaban
mereka. Setiap saat dalam gerakan-gerakan yang dilakukan kalangan
komunis ini sering meneriakkan yel-yel “Pesantren Ambruk”, “Masjid
Bangkrut”, dan “Santri dikubur”.[20] Di sini jelas bahwa permusuhan tersebut diantaranya ditujukan kepada umat Islam.
Aksi-aksi pembunuhan mewarnai hari-hari
PKI. K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari dibantai dengan cara yang
sangat kejam beserta dua orang putranya, Kiai Zubair dan Kiai Bawani,
ketika sedang mengumandangkan adzan di sebuah sumur tua di Desa Kepuh
Rejo yang akhirnya menjadi kuburan mereka. Camat Takeran Prijo Utomo
dijagal di sumur Cigrok bersama komandan polisi Takeran Martowidjojo
beserta anak buahnya. Semua ini hanya sebagian kecil dari korban
kebiadaban PKI, termasuk pembunuhan terhadap Gubernur Jawa Timur, RM.
Suryo dan pembakaran Kampung Kauman di Magetan pada 24 September 1948.[21] Lubang-lubang pembantaian bisa ditemukan di Parang, Soco, Cigrok, Batokan, Nglopang, dan lain sebagainya.
Kompi Hizbullah beserta kompi Sumadi,
kompi Sabirin, kekuatan batalion Mudjajin dan batalion Sunandar
Prijosudarmo mendapat tugas sebagai pasukan sayap kiri untuk menyerang
posisi PKI yang bertahan di Dungus. Berkat kerjasama antar kompi
terutama dengan kompi yang menjadi ujung tombak penyerangan yang dikenal
dengan nama Kompi Macan Kerah, basis pertahanan komunis berhasil
diporak-porandakan. Akibatnya Muso dengan segera memutuskan untuk
meninggalkan kubu pertahanan terkuat komunis tersebut.[22]
Bersama TNI Divisi Siliwangi, Barisan
Hizbullah mengadakan serangan serentak ke Madiun melalui Gunung Lawu. Di
Magetan, pasukan yang dipimpin Mayor Umar Wirahadikusumah melakukan
pembersihan terhadap elemen-elemen yang terlibat gerakan makar. Aksi ini
berlanjut pada penumpasan pemberontak yang berada di Madiun.[23]
Pada 30 September 1948, TNI berhasil memasuki Madiun dan tokoh-tokoh
PKI meninggalkan kota tersebut. Hari itu juga Presiden Soekarno
memerintahkan agar daerah Madiun, Pati, Semarang, dan Solo berada di
bawah kekuasaan Gubernur Militer yaitu Kolonel Gatot Subroto. Dengan
demikian pemberontakan PKI Madiun hanya berumur 11 hari.[24] Peristiwa ini diakhiri dengan kematian Muso dan penangkapan Amir Syarifuddin dalam keadaan memeluk kitab sucinya, bible.[25]
Dalam penumpasan pemberontakan di Madiun
ini, banyak anggota Barisan Hizbullah yang gugur dan menjadi tawanan
PKI. Nasib akhir menjadi tawanan pihak komunis tetap sama, yaitu mati.
Sebelum dibunuh mereka dianiaya sedemikian rupa melebihi batas
kemanusiaan. Demikian juga banyak anggota Masyumi yang dibantai setelah
sebelumnya mereka dimasukkan dalam black-list. Barisan
Hizbullah, baik yang sudah bergabung menjadi anggota TNI maupun yang
masih berada di luar, memiliki peran cukup penting dalam penumpasan
pemberontakan yang dikenal dengan sebutan Madiun Affairs tersebut.
PENUTUP
Demikian, sebuah kenangan dari masa
lalu. Kilas balik sejarah yang mestinya membuat masyarakat Indonesia
lebih arif. Tidak semuanya dapat dikisahkan, namun sebagian kecil bisa
dicatat tentang eksistensi Barisan Hizbullah, laskar Masyumi yang
ditakuti oleh Belanda maupun sekutu. Entah mengapa, namanya jarang bisa
ditemui dalam buku-buku pelajaran sejarah bangsa kita. Meskipun, mereka
terlibat dalam berbagai front demi membela agama, bangsa dan tanah air.
Semua jerih payah mereka tidak lepas
dari keinginan meraih ridha Allah dan disertai cita-cita untuk
mewujudkan sebuah negeri yang layak didiami oleh umat-Nya. Tugas
generasi hari ini untuk mengingat jasa-jasa mereka, ketika sebagian
orang justru ingin mengubur dan melupakan “kebaikan” masa lalu bersama
jasad-jasad para pejuang. [Susiyanto]
FOOTNOTE
[1] Lihat: A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan Menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, Yogyakarta: Yayasan Wiratama 45, 1985, p. 50-51
[2] Lihat: Japan Mengantjam akan Oesir Bangsa Olanda dari Indonesia, dalam “Berita Nahdlatoel Oelama’” No. 9 dan 10 Tahun 7/ 1-15 Maret 1938, p. 34; A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan …, p. 50
[3] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta 1945-1950, Karanganyar: UMS, tth, p. 7; Lihat juga: Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, Edisi IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, p. 31-32
[4] Lihat artikel: Barisan Hizboe’llah, dalam Majalah Soeara Moeslimin Indonesia No.23-24 Tahun II – 15 Desember 2604 (1944), p. 25
[5] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 8
[6] Lihat daftar nama perintis Hizbullah Surakarta: Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 20
[7] Kuntowidjoyo, Raja Priyayi Dan Kawula Surakarta 1900-1915, Yogyakarta: Ombak, 2004, p. 38-39.
[8] Beliau menjadi pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Surakarta mulai sekitar tahun 1963.
[9] Ali Darokah, Pondok Pesantren Jamsaren Solo dalam Historis dan Esensinya, Surakarta: Ramadhani, 1983, p. 5
[10] Lihat: Samboetan terhadap Barisan “Hizboellah dari Bekas Pemoeka-pemoeka Lasjkar P.A.I., dalam Majalah Soeara Moeslimin Indonesia No. 2 Th. 3/ 15 Januari 2605 (1945M), p. 11
[11] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, … p. 112
[12] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, … p. 115; Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 46; A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan …, p. 112
[13] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, … p. 116
[14] Lihat: Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto, Kakawin Bharata-Yuddha, Jakarta: Bhratara. 1968, p. 27
[15] A. Eryono, et all (ed.), Memoar Perjuangan …, p. 150
[16] Lihat: Hikmat Perang Supit Urang, dalam R. Harjowirogo, Sedjarah Wajang Purwa, Jakarta: Balai Pustaka, 1952, p. 150
[17] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 45
[18] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 73, 78-79
[19] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 80
[20] Soepanto (ed.), Hizbullah Surakarta …, p. 166
[21] Kisah-kisah nyata tentang pembantaian yang dilakukan oleh PKI bisa dibaca diantaranya dalam: Maksum, et all (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun, Jakarta: Grafiti, 1990; Anab Afifi dan Thowaf Zuharon, Ayat-ayat yang Disembelih: Sejarah Banjir Darah Para Kyai, Santri, dan Penjaga NKRI oleh Aksi-aksi PKI, Cetakan III, Banten(?): Cordoba Books, 2016.
[22] Maksum, et all (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian …, p. 110
[23] Maksum, et all (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian …, p. 137-142
[24] Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G 30 S/ PKI dan Peran Bung Karno, Jakarta: CV. Sri Murni, 1988, p. 41-42
[25] Lihat: Maksum, et all (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian …, p. 170
Post a Comment