Sekali Lagi, Larangan Memilih Pemimpin Kafir

Oleh:  Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan

SEBAGAI agama paling akhir diturunkan Allah Subhanahu Wata’ala dari kalangan agama-agama samawi, Islam dipilih dan ditetapkan Allah sebagai satu-satunya gama yang benar dan sempurna di muka bumi ini sampai akhir zaman nanti, selain agama Islam semuanya ditolak oleh Allah Subhanahu Wata’ala (Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 3, Ali Imran ayat 19 dan 85).
Ketika Allah hanya mengakui dan menerima agama Islam saja di dunia ini berarti agama selain Islam tidak benar dan tidak boleh dianut oleh ummat manusia melainkan penganutnya akan disiksa dalam neraka oleh Allah nanti pada masanya karena menjadi kafir (Qur’an surah Al-Bayyinah ayat 6).
Pemilahan dari Allah tersebut tidak hanya bermakna sekedar pemilahan masa antara satu dengan lain agama dalam kontek agama samawi melainkan sifatnya definitif, mutlak, dan berkekalan dalam segala jenis ajarannya. Salah satu hal yang telah Allah pilah adalah tidak boleh memilih pemimpin non muslim oleh muslim dalam berbangsa dan bernegara.
Selain itu setiap muslim dilarang mencampur adukkan antara atribut agama Islam dengan atribut agama lainnya baik dalam konteks ‘aqidah, syari’ah maupun akhlak karena Islam dan atribut Islam merupakan kebenaran dan atribut selain Islam sebagai kebathilan (Qur’an surah Al-baqarah ayat 42).
Antara Islam dengan non Islam terdapat pembatas besar yang disebut dengan pembatas permanen, yaitu ada jurang yang membatasi antara sebuah kebenaran dengan kebathilan. Itu bermakna pembatas di hulu yang resiko dan konsekwensinya berakibat sampai ke hilir. Karenanya ketika Allah memilih Islam dan menolak yang lainnya maka semua atribut Islam sama sekali tidak boleh dicampur adukkan dengan atribut agama lain terutama berkaitan dengan memilih non muslim sebagai pemimpin muslim.  Karena hulunya sudah ada batasan maka tengah dan hilirnyapun secara otomatis berbatas dengan sendirinya. Kecuali perkara-perkara kemanusiaan yang termasuk dalam konteks hablum minan nas di luar ‘aqidah, syari’ah dan akhlak yang boleh bekerja sama dan saling aplikatif seperti menyelamatkan nyawa, jual beli atas keperluan hidup dan kehidupan, kerja sama antar negara yang berbeda agama dan seumpamanya.
Larangan Quran
Terdapat banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang melarang ummat Islam memilih non muslim menjadi teman dekat dan pemimpinnya. “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (Ali Imran ayat 28).
Kandungan ayat ini memahamkan kita bahwa ummat Islam dilarang Allah memilih non muslim menjadi pemimpinnya dari kalangan apapun non muslim itu berasal. Kalaupun muslim tidak mengikuti perintah Allah tersebut maka orang tersebut lepas dari bantuan Allah dalam kehidupan ini, kecuali kalau berada dalam kondisi yang mudharat dengan menggunakan siyasat untuk menyelamatkan diri dan agamanya.
Antara Amal Muslim dan Amal Orang Kafir
Dalam surah Al-maidah ayat 51 Allah mengkhususkan larangan  memilih orang-orang Yahudi dan Nashrani (Kristen) menjadi pemimpin ummat Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Konsekwensi orang-orang yang tidak meninggalkan larangan Allah dalam ayat ini adalah Allah jadikan mereka sama dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani telah dicap kafir yang bakal menghuni neraka oleh Allah maka identik maknanya orang-orang Islam yang memilih mereka menjadi pemimpin akan sama dengan mereka, hina di dunia (hilang iman) dan hina di akhirat (mendapat neraka).
Tidak ada sedikitpun peluang bagi seorang muslim untuk memilih non muslim menjadi pemimpin kecuali dalam kasus dharurat dan untuk bersiyasat, kasus dharurat umpamanya minoritas muslim dalam negara mayoritas non muslim seperti di Eropah, Amerika, dan sebagainya. Untuk keperluan siasat misalnya ada orang Islam dipaksa bunuh kalau tidak memilih mereka, untuk menyelamatkan nyawa ummat Islam boleh bersiasat, namun hatinya tetap tidak setuju seperti kasus Bilal bin Raba’, dan Ammar bin Yasir.
Dalam surah Al-Mumtahanah ayat 1 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus”.
Bolehkah Kita Memilih Pemimpin Kafir?
Sesungguhnya sangat banyak ayat-ayat Al-Qur’an lain yang menegah seorang muslim memilih non muslim menjadi teman akrab dan pemimpin dalam kehidupan dunia ini. Maka sangatlah kita sayangkan kalau ada orang-orang yang memimpin partai politik dalam komunitas mayoritas muslim seperti di Indonesia dengan lantang mencalonkan non muslim sebagai pemimpin rakyat yang 85% beragama Islam. Tidak ada jalan bagi mereka di mata Allah selain neraka menunggu mereka karena mereka sudah sama dengan non muslim baik Yahudi, Nasrani, maupun kafir lainnya.
Larangan Sunnah
Ada beberapa hadis Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dari beberapa riwayat yang dengan tegas melarang ummat Islam memilih non muslim menjadi teman setia dan pemimpin yang dikuatkan oleh larangan ayat-ayat Al-Qur’an ketika terjadinya asbabun nuzul. Di zaman nabi ada sejumlah ummat Islam yang berteman rapat dengan orang-orang Yahudi, sebahagian muslim lain menasehati saudaranya agar jangan berteman rapat dengan Yahudi karena orang-orang Yahudi akan merusakkan keyakinan muslim dan merusakkan Islam, namun orang-orang Islam tersebut tidak mau mendengarnya dan tetap saja berteman baik dengan kaum Yahudi tersebut, maka Allah turunkan ayat 28 surah Ali Imran: la yattakhizil mukminuwnal kaafiriyna auliyak (janganlah orang-orang mukmin memilih orang kafir menjadi teman dekat/pemimpin).
Menurut Al-Qurthubi yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan masalah Ubadah ibnu As-Samit dari kalangan anshar yang menyertai perang Badar. Ketika nabi mau keluar untuk perang Ahzab Ubadah berkata: ya Rasulullah, saya memiliki kawan-kawan dari kalangan Yahudi sebanyak 500 orang, dan saya berencana mengikutkan mereka dalam perang Ahzab agar kita terbantu dan menang melawan musuh-musuh Allah. Segeralah turun ayat tersebut: la yattakhizil mukminuwnal kafiriyna auliyak. Maka jelaslah bagi kita meminta bantu untuk berperangpun kepada Yahudi dalam waktu terbatas dilarang Allah, apalagi mengangkat mereka menjadi pemimpin kita dalam waktu lama.
Dalam riwayat Ibnu Abbas: Hajjaj ibnu Amir, Ibnu Abi Hukaiq, dan Qais ibnu Zaid dari kalangan orang Yahudi berteman akrab secara rahasia dengan orang-orang muslim dari kalangan Anshar dengan tujuan mencari kelemahan Islam untuk menghancurkan Islam. Ketika muslim mengetahui rencana mereka maka muncullah beberapa orang shahabat seperti Rifa’ah ibnu Munzir, Abdullah ibnu Jubair,, dan Sa’ad ibnu Haithamah untuk memberi nasehat kepada orang-orang anshar tersebut, namun orang-orang anshar tidak menghiraukan nasehat saudaranya yang seiman dan seagama tersebut, lalu turunlah ayat tersebut: la yattakhizil mukminuwnal kafiriyna auliyak.
Dengan demikian muncul pertanyaan terhadap orang-orang Islam yang mencalonkan kafir menjadi pemimpin seperti di Jakarta: kenapa mereka sampai hati mengorbankan Islam yang maha benar dan ummat Islam sebagai saudaranya dengan mencalonkan kafir untuk menjadi pemimpin ummat Islam?
Ketua Umum PW Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh periode 2015-2019. Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post