“KAMU sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan, apa saja yang kamu nafkahkan maka, sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92).
Menginfaqkan harta yang paling dicintai merupakan
syarat meraih kebajikan yang hakiki. Sebab, iman perlu pembuktian dengan
pengorbanan. Tidak ada bukti keimanan tanpa adanya pengorbanan, semakin
besar ia berkorban, entah dengan harta, raga, atau pun jiwa, semakin
kuat pula keimanannya. Sebaliknya, semakin pelit dan kikinrya seseorang,
akan menunjukkan keimanannya yang tipis terhadap akhirat. Bahkan
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “La yajtami’ al-syuhhu wal-iman fi qalbi ‘abdin abadan“. Sifat kikir dan iman tidak akan berkumpul dalam hati seorang selama-lamanya, (Al-Musnad, Imam Ahmad, 202/14, No. 8512).
Sebab turunnya ayat di atas terekam dalam hadits yang dirawikan oleh
Anas bin Malik, beliau berkata, Abu Thalhah adalah orang Ansar kaya yang
paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah, dia sangat mencintai
Biruha (nama kebunnya) yang pas berhadapan dengan masjid.
Rasulullah juga suka masuk ke kebun itu sambil minum air, tatkala turun ayat, “Lan tanalul-birra harta tunfiqu minma tuhibbun, Kalian
sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan sempurna hingga
menginfaqkan harta yang kalian paling cintai!” maka Abu Thalhah berkata,
Wahai Rasulullah, Allah telah menegaskan bahwa tidak akan mendapatkan
kebaikan kecuali Menginfaqkan apa yang dicintai. Harta yang paling saya
cintai adalah kebun “Bairuha”, maka dengan ini saya sedekahkan karena
Allah. Gunakanlah wahai Rasulullah sesuai kehendakmu. Rasul lalu
bersabda, Bakh! [ungkapan kekaguman], ini adalah harta yang sangat baik
dan sangat bernilai. Saya berpendapat alangkah baiknya jika engkau
berikan pada kerabatmu. Dia mengatakan, aku lakukan wahai Rasulullah!
Kemudian Abu Thalhah membagikannya pada kaum kerabat dan anak pamannya,
(HR. Bukhari-Muslim).
Petunjuk Nabi Tentang Sedekah
Kisah mirip tapi tidak sama dari Sahabat Nabi lainnya adalah Zaid bin
Haritsah, harta yang paling ia cintai seekor kuda bernama “Sab”. Ketika
ayat di atas turun, maka ia pun menyedekahkan kudanya pada Rasulullah.
Ketika kuda itu digiring oleh anaknya, Rasulullah melihat wajah Zaid
berubah, maka ia pun bersabda, Sesungguhnya Allah telah menerima darimu
wahai Zaid. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, dalam Tafsir Al-Qurthubi).
***
Banyak ahli tafsir yang menerangkan bahwa
al-birr yang dimaksud oleh ayat ini adalah surga. Penafsiran ini
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Amr bin
Maimun, dan as-Suddi sebagaimana dinukil oleh Al-Thabari dan
al-Qurthubi.
Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata, Ayat
ini adalah anjuran dari Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya untuk
Berinfaq dan berbagi dalam kebaikan. Allah ta’ala menyatakan Kalian
tidak akan meraih al-birr, yaitu setiap kebaikan berupa berbagai
ketaatan dan ganjaran yang mengantarkan pelakunya ke surga. Hingga
kalian Menginfaqkan apa yang kalian, cintai, yaitu harta-harta kalian
yang berharga yang paling disenangi oleh jiwa dan raga kalian. Jika
kalian lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah Ta’ala daripada
daripada harta lalu kalian mengeluarkan dengan tujuan menggapai
keridhaan-Nya, hal itu menunjukkan keimanan yang jujur, ketaatan hati,
dan juga sebagai bentuk pembuktian takwa kalian. Termasuk dalam hal ini
adalah menginfaqkan harta yang bernilai, berinfaq dalam keadaan sehat
yang dia sendiri pun butuh terhadap apa yang ia infaqkan. Ayat di atas
menunjukkan bahwa seorang hamba dinilai ketaatannya berdasarkan harta
kesenangan yang dia infaqkan dan semakin berkurang ketaatannya jika
infaqnya berkurang, (Al-Sa’di, Taisir Al-Karim Al-Rahman).
Kemudian di penghujung ayat diterangkan bahwa apa pun yang
diinfaqkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Maksudnya, Allah
ta’ala mengabarkan bahwa apa pun yang diinfaqkan atau disedekahkan, atau
nazar orang yang bernazar, sesungguhnya Allah mengetahui hal itu.
Kandungan makna ilmu Allah menunjukkan bahwa Dia membalas dan tidak
menyia-nyiakan sedikit pun apa yang ada di sisi-Nya. Dia mengetahui apa
yang dilakukan seorang hamba berupa niat yang baik atau buruk. (Taisir
Al-Karim Al-Raman)
***
Manusia diciptakan dengan fitrah berupa
kecenderungan mencintai harta benda, semua manusia memiliki fitrah ini.
Tidak ada manusia yang tidak mencintai hartanya. Hanya saja mereka mampu
menekan kecintaan itu sehingga tidak melebihi cintanya pada Allah,
Rasul, dan jihad di jalan Allah melalui jiwa dan harta.
Budayakan Infaq dan Memohon Ampunan
Coba kita lihat keadaan Abu Thalhah saat
bersedekah dengan hartanya. Ia menyadari bahwa harta yang akan ia
sedekahkan tersebut adalah harta yang sebetulnya sangat ia cintai. Akan
tetapi, karena seruan Allah lebih ingin ia dengarkan dari seruan
perasaan yang ada dalam hatinya, ia rela berbuat kemuliaan tersebut.
Orang-orang beriman yang rajin berinfaq dan bersedekah bukan berarti
mereka tidak mencintai hartanya, tetapi karena seruan Allah ia utamakan.
Saat ini peluang berinfaq dan bersedekah sangat terbuka lebar,
lihatlah begitu banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam
kemelaratan, hanya sekadar makan saja tidak cukup, tempat tinggal yang
tidak layak, sakit lalu tidak dapat berobat, cerdas tapi tidak dapat
melanjutkan sekolah disebabkan oleh keterbatasan biaya. Masalah di atas
dapat kita pikul bersama dengan menyisihkan sebagian harta pendapatan
rutin bulanan yang kita miliki, tidak mesti harta yang paling kita
cintai, namun cukup 2,5% dari total penghasilan bagi mereka yang bergaji
tetap. Atau bersedekah dengan hasil bumi bagi petani, dan apa saja dari
harta kita yang dapat bermanfaat untuk orang lain bisa menjadi infaq
dan shadaqah bernilai ibadah di sisi Allah. Kecuali bagi mereka yang
sudah masuk kategori muzakki berupa pendapatan rutinnya sudah memenuhi
hitungan nishab, maka ia harus berzakat sesuai ketentuan.
Jika belum juga mampu bersedekah dengan harta, cukup dengan senyum
dan doa pada sesama pun tidak akan sia-sia. Kalau enggan mendoakan
sesama dan malas tersenyum, maka ucapkan kalimat-thayyibah yang mampu menjadi harta karun di Hari Akhirat, yaitu: La haula wa la quwwata illa billah, Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Wallahu A’lam!.*/Ilham Kadir, komisioner Baznas Enrekang
Post a Comment