Kewajiban itu ada setelah datang ilmu.
Karena Allah tidaklah menyiksa hamba sampai diutus seorang Rasul atau
sampai hujjah datang pada dirinya. Jika ada yang melakukan suatu
keharaman dan baru mengetahui kalau itu haram, maka ia tidak terkena
hukuman. Begitu pula jika ada yang meninggalkan suatu kewajiban dan baru
mengetahui kalau itu wajib, maka ia tidak punya kewajiban mengqodho’
(mengulang). Inilah kaedah fikih yang disampaikan Ibnu Taimiyah rahimahullah yang bisa menjawab berbagai polemik sampai pun polemik mengenai pekerjaan haram dan sekarang sudah bertaubat.
Kewajiban Datang Setelah Adanya Ilmu
Ini adalah suatu kaedah yang disampaikan oleh Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
أَنَّ الْحُكْمَ لَا يَثْبُتُ إلَّا مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الْعِلْمِ
“Hukum tidaklah ditetapkan kecuali setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 19: 226).
Beliau juga mengatakan yang maksudnya sama,
وَلَا يَثْبُتُ الْخِطَابُ إلَّا بَعْدَ الْبَلَاغِ
“Tidaklah ditetapkan hukum melainkan setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 41).
Maksud Kaedah
Pembebanan syari’ah berupa ibadah dan muamalah ada setelah sampainya
ilmu akan wajibnya pada seorang hamba. Jika tidak sampai ilmu tersebut,
maka tidaklah wajib. Kewajiban yang ditinggalkan atau perbuatan haram
yang dilakukan sebelum sampainya ilmu wajibnya atau bahkan meyakini
halalnya dari hasil ijtihad atau taklid (hanya sekedar ikut-ikutan),
maka tidak ada kewajiban untuk mengqodho’ kewajiban yang telah
ditinggalkan. Ia pun tidak punya kewajiban mengembalikan harta yang
sebenarnya haram tapi ia yakini halal. Begitu pula ia tidak dihukum
karena telah menerjang yang haram.
Yang terkena kewajiban berarti yang telah mengetahuinya. Adapun bagi
yang tidak mampu memperoleh ilmu tersebut karena tidak mampu untuk
menunut ilmu atau karena ijtihadnya yang keliru atau karena taklid, maka
ia tidak dituntut ketika telah nampak kebenaran atau telah mengetahui
hukum.
Akan tetapi, bisa saja mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkan
sebagian kewajiban walau ia tidak sampai ilmu pada dirinya sebelumnya.
Di sini tujuannya supaya ia tidak melampaui batas lagi di masa
mendatang. Semacam orang yang memberontak (bughot), maka ia boleh ditumpas supaya tidak lagi berbuat onar di masa mendatang. Lihat bahasan dalam Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalah Al Maliyah ‘inda Ibnu Taimiyyah, 1: 495-496.
Perselisihan Ulama
Kaedah ini sebenarnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Ada tiga pendapat dalam masalah apakah dikenai kewajiban bagi
seseorang sebelum sampainya ilmu. Ada tiga pendapat dalam madzhab Imam
Ahmad dan ulama lainnya. Ada yang mengatakan bahwa tetap ada kewajiban,
artinya ibadahnya harus diulangi (diqodho’) [namun tidak terkena dosa,
-pen]. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban. Ada pula yang
berpendapat bahwa tetap ada kewajiban walau belum mengetahui di awal;
namun jika dalam masalah hukum nasikh, maka ia masih terkena kewajiban
sampai datang hukum yang menghapus[1]. Pendapat yang tepat adalah tidak ada kewajiban mengqodho’ dalam masalah ini.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 41).
Ibnu Taimiyah merojihkan (menguatkan) pendapat dalam perkataan beliau lainnya,
وَالصَّحِيحُ
الَّذِي تَدُلُّ عَلَيْهِ الْأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ : أَنَّ الْخِطَابَ
لَا يَثْبُتُ فِي حَقِّ أَحَدٍ قَبْلَ التَّمَكُّنِ مِنْ سَمَاعِهِ
“Yang tepat dan didukung dalil syar’i bahwasanya tidak ada kewajiban pada seseorang sebelum sampai ilmu padanya” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 407).
Dalil Kaedah
Kaedah di atas berdasarkan dalil-dalil berikut ini,
لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“Supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. Al An’am: 19).
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al Isra’: 15).
لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“Supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”
(QS. An Nisa’: 165). Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa pembebanan
kewajiban itu ada setelah adanya ilmu. Dalil-dalil tersebut disampaikan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 22: 41.
Penerapan Kaedah
1- Barangsiapa meninggalkan kewajiban yang sebelumnya ia tidak tahu
akan wajibnya atau ia melakukan larangan yang juga ia belum tahu akan
terlarangnya, seperti meninggalkan thuma’ninah dalam shalat. Ia baru
tahu akan hal ini saat ini, sedangkan shalat-shalat selama
bertahun-tahun tidak ia lakukan dengan thuma’ninah, padahal thuma’ninah
itu termasuk rukun shalat, maka shalat-shalat yang terdahulu tidak perlu
diulangi. Kaji lebih jauh mengenai rukun shalat di sini.
2- Jika ada yang baru mengetahui bahwa memakan daging unta
membatalkan wudhu, maka ia tidak perlu mengulangi shalatnya terdahulu
karena baru mengetahui akan hukum tersebut saat ini. Baca ulasan lebih
lengkap bahwa makan daging unta membatalkan wudhu di sini.
3- Bagi yang baru mengetahui masuknya bulan Ramadhan di siang hari, maka ia punya kewajiban imsak
(menahan diri tidak makan dan minum). Namun ia tidak punya kewajiban
qodho’ walau di pagi harinya ia telah makan dan minun. Karena taklif yattabi’u al ‘ilma,
kewajiban itu ada setelah mengetahui. Ia tidak tahu akan wajibnya
sebelumnya, maka ia tidak diperintahkan untuk mengqodho’. Demikian
pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 29: 105.
4- Barangsiapa yang memiliki pekerjaan di tempat riba dan sebelumnya
ia mengetahui akan bolehnya. Lalu ia mendapat penerangan bahwa bekerja
di tempat tersebut haram. Atau mungkin dahulu pekerjaan tersebut masih
dipertentangkan keharamannya, lalu ia tahu haram, maka harta yang telah
ia miliki dari pekerjaan haram tersebut sebelum datang ilmu padanya,
boleh ia manfaatkan. Demikian pendapat yang tepat dan dipilih oleh Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 29: 267.[2]
Semoga pelajaran kaedah fikih ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Catatan:
1- Bedakan antara orang yang tidak tahu hukum karena sudah berusaha
mencari ilmu atau karena berijtihad dengan orang yang tidak peduli untuk
belajar ilmu padahal ia mampu untuk belajar.
2- Jika suatu ilmu di mana setiap orang sudah mengetahui wajibnya atau haramnya atau masuk dalam perkara ma'lum minad diini bid doruroh,
berarti sudah dianggap setiap orang telah memiliki ilmu akan hal
tersebut. Misalnya, terlarangnya makan babi, ini sudah maklum di
tengah-tengah kita bahwa babi itu haram.
Referensi:
Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah lil Mu’amalah Al Maliyah ‘inda Ibnu Taimiyyah, ‘Abdus Salam bin Ibrahim bin Muhammad Al Hushain, terbitan Darut Ta’shil, cetakan pertama, 1422 H.
Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 5 Shafar 1434 H
Kami sangat menghargai komentar pembaca sekalian, baik saran, kritik, bantahan dan lain sebagainya.
Bagi pembaca yang ingin berkomentar silahkan untuk login dengan mengklik Login di Tombol Login komentar dan pilih akun yang ingin anda gunakan untuk Login, Bisa dengan Facebook, Twitter, Gmail dsb.
peraturan komentar:
1. komentar pendek atau panjang tidak masalah, baik lebih dari satu kolom juga tidak apa-apa.
2. komentar menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar tidak berbelit-belit.
3. tidak menggunakan kata-kata kotor, hujat atau caci maki
4. langsung pada topik permasalahan
Post a Comment