KITAB suci Al-Quran, adalah pedoman hidup utama bagi umat islam.
Al-Quran adalah firman Allah yang turun kepada Nabi Muahammad SAW,
melalui malaikat Jibril. Turunnya Al-Quran berlangsung berangsur-angsur,
dalam dua periode perjalanan hidup Rasulullah yaitu ketika di Mekkah
dan di Madinah. Surat pertama yang turun adalah Al-‘Alaq yang turun
ketika di gua Hira.
Namun mengapa pada saat ini, urutan surat dalam Al-Quran dimulai dari surat Al-Fatihah, bukan Al-‘Alaq? Berikut alasannya:
Pertama, Al-Qur’an diturunkan ke dunia melalui dua
tahap: Tahap pertama, diturunkan sekaligus dari “lauhil mahfudz” ke
“baitul izzah” di langit dunia sebagaimana susunan yang telah ditetapkan
oleh Allah. Tahap kedua, diturunkan dari langit dunia kepada Rasulullah
SAW, secara berangsur-angsur sesuai dengan sebab kejadiannya. Tetapi
susunan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang ada sekarang, itu memang bukan
menurut sejarah turunnya, melainkan atas dasar perintah Allah sama
dengan susunann Al-Qur’an yang di “lauhil mahfudz”.
Imam Ahmad, meriwayatkan bahwa setiap kali turun ayat, Rasulullah
s.a.w. memerintahkan para penulis wahyu, seraya bersabda “letakkan ayat
ini setelah ayat ini di surat ini” (Musnad Imam Ahmad: Jilid:1, hal:57).
Banyak riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah mengimami shalat,
dengan membaca Al-Qur’an sebagaimana susunan ayat yang ada. Atas dasar
ini ijma’ ulama menegaskan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an murni dari
Allah tanpa campur tangan siapapun.
Begitu juga susunan surah-surah dalam Al-Qur’an, sekalipun ada
perbedaan pendapat, tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa
susunan surah-surah itu berdasarkan wahyu dari Allah SWT, bukan ijtihad
para sahabat. Pendapat ini didukung dengan banyak riwayat yang sahih,
seperti keterangan bahwa Rasulullah sering membaca dalam shalatnya,
beberapa surah secara berurutan seperti susunan yang ada.
Rasulullah SAW sebagaimana riwayat Imam Bukhari – setiap tahun dua
kali menyetor hafalan Al-Qur’an dari awal sampai akhir, kepada Malaikat
Jibril. Setoran ini tentu secara berurutan sesuai dengan susunan yang
ada. Ini juga diperkuat dengan ijma’ para sahabat dan kesepakatan
jumhurul ulama (mayoritas ulama) terhadap susunan Al Qur’an ada sekarang
adalah merupakan bukti yang menguatkan bahwa susunan surah-surah
berdasarkan wahyu (lihat fadhailul Qur’an, libni katsir, 86).
Kedua, mengenai pengelompokan ayat dalam setiap
surat sesuai dengan riwayat Imam Ahmad di atas tentu juga berdasakan
wahyu. Bagitu juga nama-nama surah, semuanya sesuai dengan petunjuk
wahyu. Demikian pula waqaf per ayat, tidak bisa diketahui kecuali
melalui wahyu.
Adapun penentuan juz-juz Al-Qur’an yang tiga puluh jumlahnya, itu
bukan dari Sahabat Utsman, karena mushhaf utsmani (Al-Qur’an yang
ditulis di zaman Utsman) tidak terdapat juz-juz tersebut. Melainkan dari
para ulama, dengan maksud untuk mempermudah. Sekalipun dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat antara boleh dan tidak, namun kemudian
dianggap boleh-boleh saja, selama tidak merusak susunan Al-Qur’an yang
asli.
Ketiga, penentuan suatu ayat dimansukh dengan ayat lainnya, itu tidak melalui ijtihad, melainkan melalui tiga hal berikut:
(1). Penegasan dari Nabi SAW atau sahabat r.a. Seperti hadits : ” aku
dulu pernah melarangmu melakukan ziarah ke kuburan, maka sejak ini
silahkan lakukan ziarah kubur tersebut “.
(2). Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang satunya mansukh.
(3). Mengetahui sejarah turunnya, maka yang diturunkan lebih dahulu itulah yang mansukh.
Demikian wallahu a’lam bissawab. [ds/islampos/Pesantren virtual]
Post a Comment